Menumbuhkan Optimisme di Tahun Politik

Oleh: Jeffrie Geovanie

Sepanjang tahun 2017 kita telah melalui gempita politik yang dinamis dengan nuansa pesimisme mendalam karena munculnya sejumlah fenomena yang bertentangan dengan semangat demokratisasi. Kekalahan Basuki Tjahaja Purnama dalam Pilkada Jakarta tak sekadar menandai kemenangan irasionalitas politik, tapi juga menjadi awal kebangkitan sektarianisme politik yang mencampakkan akal sehat.

Ini bukan soal ketidaksukaan pada politik yang berbasis agama, tapi lebih pada kekhawatiran menguatnya politisasi agama. Politik berbasis agama dengan politisasi agama adalah dua hal yang berbeda. Yang pertama mencoba menjadikan politik sebagai amal saleh, sesuatu yang sangat baik dan konstruktif bagi kehidupan bersama.

Sedangkan yang kedua adalah setiap upaya menjadikan agama sebagai alat politik untuk meraih kekuasaan. Ini merupakan modus penistaan agama yang dirasakan sebaliknya oleh umat beragama. Seolah-olah memuliakan agama padahal menjadikannya sekadar penjaring suara untuk meraih kemenangan. Setelah kemenangan didapatkan, semua akan berjalan seperti biasa (business as usual).

Tanda-tandanya sudah kita lihat pada awal pemerintahan gubernur baru. Kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya tidak lebih baik (bahkan lebih buruk) dari gubernur sebelumnya. Drainase yang sebelumnya sudah mulai tertata hingga mampu meminimalisasi banjir, kini kembali memburuk dan menimbulkan banjir di mana-mana saat hujan lebat tiba. Pasar Tanah Abang yang sebelumnya mulai tertata, kembali semrawut tak terpola. Alih-alih menata jalan untuk menghindari kemacetan, kebijakannya justru menjadikan jalan sebagai lapak baru para pedagang.

Uniknya, pada Pilkada 2018, ada upaya-upaya sistematis untuk menduplikasi kemenangan Pilkada Jakarta ke daerah-daerah lainnya. Apakah upaya ini akan berhasil? Masyarakat pemilih di setiap wilayah/daerah itulah yang akan menentukan jawabannya.

Tapi, sebelum menjawab itu, lihatlah roda politik yang berjalan begitu cepat. Kemenangan Donald Trump di Amerika yang berimplikasi negatif sudah bisa dirasakan hingga ke sudut kota-kota di Indonesia. Langkah sepihak Trump dalam konstelasi politik di Palestina telah menimbulkan kemarahan global.

Bahwa politisasi agama, pada level mana pun, tidak memberikan kontribusi yang positif bagi keadaban politik. Dunia kini berdiri di simpang jalan Trump, termasuk negara-negara yang menjadi sekutu utama Amerika seperti Jepang di Asia dan Inggris Raya di Eropa.

Kita berharap, memasuki tahun politik (Pilkada 2018 dan Pemilu/Pilpres 2019) segenap masyarakat Indonesia sudah belajar dari peristiwa-peristiwa politik sebelumnya. Semoga pepatah yang mengatakan bahwa “pengalaman adalah guru terbaik” benar-benar terimplementasi di ranah politik pada pilkada, dan terlebih pada pemilu/pilpres mendatang. Betapa ruginya kita jika harus terjerembab pada lubang yang sama untuk kedua kalinya.

Optimisme menyongsong tahun politik harus kita tanamkan dalam benak kita masing-masing, sebagai modal awal untuk merencanakan langkah-langkah politik yang lebih konstruktif. Politik dan agama yang akan tetap menjadi isu sentral harus kita tempatkan secara proporsional. Semangat keberagamaan kita jadikan sebagai landasan moral dalam setiap langkah politik yang ditempuh, bukan malah dijadikan alat kampanye yang cenderung menipu dan membodohi rakyat.

Setiap orang yang memiliki kesadaran pentingnya memperbaiki keadaban politik di negeri ini harus bersatu, bahu membahu, melangkah bersama dalam satu lini perjuangan etis dalam memperkokoh nilai-nilai demokrasi yang kita yakini sebagai sistem politik terbaik di muka bumi.

Caranya bagaimana? Yang paling mungkin bisa dilakukan adalah dengan memperkuat kelembagaan politik demokratisasi. Baik infrastruktur maupun suprastruktur politik kita perkuat dengan program-program yang konstruktif. Kesadaran masyarakat kita tumbuhkan bahwa keberadaan infra dan suprastruktur politik sangat penting untuk memperbaiki taraf hidup, menumbuhkan rasa keadilan, dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Infrastruktur politik seperti parpol, ormas, kelompok kepentingan, dan lain-lain kita perkuat dengan program-program yang sarat pendidikan untuk menumbuhkan dan memperkokoh kesadaran politik masyarakat seperti pendidikan kewargaan, penumbuhan kesadaran antikorupsi, merajut semangat toleransi dan saling menghargai, dan lain-lain.

Sedangkan untuk suprastruktur politik seperti DPR/MPR dan lembaga-lembaga negara formal lainnya yang keberadaannya ditopang undang-undang, harus terus kita dorong  untuk melakukan langkah-langkah konstruktif. Segala kebaikan yang dilakukan, selain akan kembali kepada dirinya, dalam arti menjadi investasi politik yang sangat berharga, juga akan menjadi pendidikan politik yang konkret dan bisa dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat banyak.

Infrastruktur politik memiliki peran signifikan dalam membangun keadaban politik di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan suprastruktur politik memiliki peran signifikan dalam merealisasikan harapan dan cita-cita sosial yang menjadi indikator keberhasilan suatu negara.

Jika kedua komponen penting dalam kehidupan bernegara ini sudah berada dalam jalur yang sama, yakni jalur yang mampu menumbuhkan optimisme di tengah-tengah masyarakat, niscaya tidak akan lagi ada kecemasan dalam menyongsong tahun politik.

Jeffrie Geovanie

Anggota MPR RI 2014-2019

Sumber

Recommended Posts