Mengenal Partai Baru

Setiap pekan kita mendapat tamu yang sangat menarik, bahkan sekarang saya kira adalah tamu pertama yang akan menembus kegaduhan di satu pihak dan kejenuhan di lain pihak mengenai politik Indonesia. Sekarang tamu kita adalah Raja Juli Antoni, Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Menurut Raja Juli Antoni, sejak awal PSI didirikan dengan sebuah keyakinan bahwa sebenarnya banyak orang baik di negeri ini, dan sebenarnya kita tidak kekurangan stok orang baik di negeri ini. Yang kurang adalah orang-orang baik itu enggan untuk terlibat langsung dalam sebuah proses pengambilan keputusan misalnya di parlemen, sehingga akhirnya politik itu dikuasai oleh orang-orang yang memang kita deskripsikan sebagai orang tidak baik. Dua nilai yang kami perjuangkan dalam PSI adalah pertama, sesuatu yang terkait dengan nation building kita, yaitu memperjuangkan anti intoleransi. Kedua, terkait dengan state building anti korupsi.

Raja Juli Antoni mengatakan, yang terjadi pada hari ini yang mengkhawatirkan adalah kita tidak bisa lagi memisahkan secara baik apa yang menjadi urusan agama dan apa yang menjadi urusan politik. Dalam Pilkada Jakarta kemarin kita melihat justru terjadi proses instrumensasi agama yaitu agama dipergunakan sedemikian rupa untuk tujuan politik.

Ini tentu akan merusak tatanan demokrasi kita karena salah satu inti dari demokrasi adalah bagaimana kita bisa mendudukan posisi agama dan politik. Karena itu kebebasan individu menjadi penting dan karena kebebasan individu itulah kemudian semua orang harus dianggap sama sebagai citizen. Jadi tidak ada orang atau sekelompok orang yang lebih mulia dibandingkan dengan kelompok lain dan agama tertentu tidak bisa dianggap sebagai warga negara kelas satu, sedangkan yang lainnya kelas dua.

Berikut wawancara Perspektif Baru antara Wimar Witoelar sebagai pewawancara dengan nara sumber Raja Juli Antoni.

Selama ini saya diperkenalkan dengan kelompok anak muda yang tergabung dan mengurus Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Saya sempat mewawancara salah satu kadernya yang sekarang sudah menjadi Deputi Ketua yaitu Tsamara Amany. Saya juga mengenal Ketua Umumnya yaitu Grace Natalie. Sekarang saya sudah berkenalan dengan Sekretaris Jenderalnya yaitu Raja Juli Antoni. Apakah betul partai ini berbeda dengan partai lainnya? Dimanakah letak ke-khasan partai ini?

Pertama, saya kira dari nilai. Sejak awal partai ini didirikan dengan sebuah keyakinan bahwa sebenarnya banyak orang baik di negeri ini, dan sebenarnya kita tidak kekurangan stok orang baik di negeri ini. Yang kurang adalah orang-orang baik itu enggan untuk terlibat langsung dalam sebuah proses pengambilan keputusan misalnya di parlemen, sehingga akhirnya politik itu dikuasai oleh orang-orang yang memang kita deskripsikan sebagai orang tidak baik.

Sewaktu Bambang Harimurti datang di acara PSI, dia pernah mengutip pernyataan Edmund Burke, “Satu hal yang paling mudah untuk memenangkan keburukan adalah dengan orang-orang baiknya tidak melakukan apapun.”

Saya kira itu yang terjadi di Indonesia. Politik terlanjur menjadi satu hal yang negatif, politik adalah kotor, sehingga akhirnya kawan-kawan muda yang mempunyai visi besar tentang nilai kebangsaan kita kemudian enggan untuk bergabung atau berkotor-kotor di sebuah proses yang memang tidak mudah.

Apa yang dikutip oleh Bambang Harimurti dari perkataan Edmund Burke sangat betul karena orang baik biasanya jarang mempunyai sense of crisis. Jadi keadaaan sudah parah dia masih belum bereaksi. Kita sudah mau jatuh tapi orang baik masih santai-santai saja, dan tidak sadar bahwa dunia yang dihuni sekarang akan jatuh. Tidak ada gunanya mempertahankan dunia kalau kita tidak paham dunia luar.

Ini adalah satu percakapan, jadi bukan wawancara saja karena saya banyak sependapat dengan Raja Juli Antoni. Saya secara pararel sebagai seorang warga ingin melakukan hal yang kira-kira sama dengan apa yang dilakukan oleh PSI, yaitu membangunkan orang-orang baik kepada bahaya yang ada.

Ibaratnya, sekarang kita naik bus yang hampir masuk jurang, sedangkan orang-orang didalamnya masih tidur. Kapal Titanic tenggelam, dalam cerita sebenarnya 1.100 orang meninggal, karena tidak ada yang percaya dia bisa tenggelam. Orang di Jakarta tidak percaya bahwa Ahok bisa jatuh, tapi ternyata jatuh. Sekarang kita tidak percaya bahwa pluralisme kita bisa jatuh tetapi itu memang bisa terjadi. Misalnya, dulu Gus Dur bisa jatuh. Sekarang mungkin bukan Jokowi saja yang jatuh, tapi pluralismenya akan digantikan dengan paham-paham yang bukan asli Indonesia.

Bagaimana visi Anda mengenai bahaya itu dan apa yang harus dilakukan oleh orang baik dan orang biasa seperti kita?

Balik ke perkataan Edmund Burke. Dia mengatakan, The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing.”@ Menurut saya ini harus diselaraskan misalnya dengan pendapat Ali bin Abi Thalib yaitu, “Kebaikan yang tidak pernah teroganisir dengan baik akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir.” Jadi selain ada niat baik dan ada orang-orang baik, yang paling penting adalah pengorganisasian diri.

Apakah yang sekarang bisa dilakukan oleh orang baik selain bergabung dengan partai? Apakah mau melanjutkan demo Ahok lagi? Namun di sini kita tidak mau melawan hukum, kita mau melanjutkan nilai-nilai. Bagaimana cara kita melanjutkannya?

Dua nilai yang kami perjuangkan dalam PSI adalah pertama, sesuatu yang terkait dengan nation building kita, yaitu memperjuangkan mengenai yang dalam bahasa negatifnya anti intoleransi. Kedua, terkait dengan state building anti korupsi. Saya kira ini adalah dua hal yang prioritas.

Banyak yang kita tidak sadari bahwa proses nation building ini dianggap sudah selesai, padahal kita melihat dari fase kebangkitan nasional sampai hari ini selalu ada penggalan-penggalan sejarah dimana keutuhan kita sebagai sebuah bangsa selalu diuji. Terus terang saya khawatir dengan fenomena terakhir ini. Salah satu yang paling esensial dalam perdebatan demokrasi adalah bagaimana memposisikan agama di ruang publik.

Kita mungkin tidak bisa menjadi negara yang sekuler, dalam pengertian sekuler yang paling klasik, karena memang dalam realitanya seperti itu. Misalnya ada buku tentang Public Religions in the Modern World yang ditulis oleh Jose Casanova, dia mengatakan memang tidak ada fakta di dunia ini dimana agama betul-betul bisa dipisahkan dari urusan publik.

Itulah sebabnya dia muncul dengan ide public religions dimana sesungguhnya agama itu bisa bermanfaat untuk pembangunan dan untuk modernisasi. Tapi dia juga menyebutkan bahwa menjadi public religions, kita tetap harus bisa mendefinisikan dimana sebenarnya agama dapat berperan dan dimana politik dapat berperan. Yang terjadi pada hari ini yang mengkhawatirkan adalah kita tidak bisa lagi memisahkan secara baik apa yang menjadi urusan agama dan apa yang menjadi urusan politik. Dalam Pilkada Jakarta kemarin kita melihat justru terjadi proses instrumensasi agama yaitu agama dipergunakan sedemikian rupa untuk tujuan politik.

Ini bukan lagi soal Ahok, bukan lagi soal Jakarta tetapi ini bisa menjadi “template” yang baik bagi para politisi di Indonesia, yaitu bila mempunyai agenda politik maka tidak perlu bekerja dengan baik, tidak perlu melakukan atau men-delivered janji -janji politik. Cukup di ujung-ujung terakhir ketika ingin maju politik saja, misalnya dengan melakukan sebuah proses instrumensasi agama, pergunakan agama, dan sentimen keagamaan.

Ini tentunya akan merusak tatanan demokrasi kita sendiri karena salah satu inti dari demokrasi adalah bagaimana kita bisa mendudukan posisi agama dan politik. Karena itu kebebasan individu menjadi penting dan karena kebebasan individu itulah kemudian semua orang harus dianggap sama sebagai citizen. Jadi tidak ada orang atau sekelompok orang yang lebih mulia dibandingkan dengan kelompok lain dan agama tertentu tidak bisa dianggap sebagai warga negara kelas satu, sedangkan yang lainnya kelas dua.

Saya kira ini adalah tantangan kita yaitu tidak hanya soal Jakarta dan Ahok saja, tetapi ini menjadi satu pembelajaran politik bahwa ada kemungkinan orang-orang yang akan berniat jahat di negeri ini akan mempergunakan template Jakarta untuk kepentingan politik lokal ataupun mungkin pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Apakah Jokowi akan menang, terlepas dari calon-calonnya siapa, andaikan pemilihan presiden dilakukan bulan depan?

Saya tidak tahu survei terakhirnya, tetapi saya melihat Jokowi akan diperlakukan sama dengan apa yang pernah dilakukan pada Pilpres 2014. Tentu saja itu dengan amunisi yang lebih baru lagi dan dengan jurus silat lebih hebat lagi karena belajar dari Pilkada Jakarta 2017, misalnya saja isu agama.

Sebaliknya jurus silat yang hebat ada, tetapi pertahanannya belum dikembangkan.

Saya kira itulah yang menjadi problem partai-partai nasionalis yang ada sekarang. Misalnya ketika saya berbicara dengan anak-anak muda, kemarin mereka memilih Ahok karena memang menjadi simbol kebangkitan nasional jilid dua. Mereka berpendapat bahwa ada seorang yang dari latar belakang etnis minoritas dengan agama minoritas, tetapi dapat memimpin dan dapat bekerja dengan baik serta peduli pada orang miskin, namun kemudian ini tidak nyambung dengan realitas politik di lapangan. Inilah yang benar-benar mengkhawatirkan. Saya tidak tahu persis apakah akan ada orang yang mau bekerja secara serius ke depan dan bekerja untuk rakyat kalau politik kita memang enteng-entengan seperti ini.

Dari kubu nasionalis semestinya ada narasi baru tentang nasionalisme. Misalnya, sewaktu kemarin kita membela Ahok karena di sana mengancam persatuan Indonesia dan mengancam kebhinekaan kita dengan jargon “NKRI harga mati atau Pancasila”. Itu semestinya ada narasi baru. Bagaimana kita mau menjelaskan kepada orang yang mendukung Ahok mengenai NKRI dan Pancasila ketika di DPR misalnya mendukung hak angket yang melemahkan KPK? Itu karena bagi anak-anak muda kata NKRI, Pancasila relatif abstrak, dan banyak yang tidak memahaminya apalagi pada zaman Orde Baru. Dulu itu dipergunakan juga untuk membungkam kebebasan pers.

Sekarang tiba-tiba itu menjadi salah satu hal yang disakralisasi tanpa ada maknanya dan tanpa ada kakinya. Hal tersebut diibaratkan ketika kita bersikap nasionalis tetapi kemudian mendukung pelemahan KPK dan partai-partai yang kemarin melawan Ahok justru menolak hak angket. Bagi anak-anak muda mereka lebih memikirkan hal-hal lebih kongkrit misalnya melawan korupsi. Itu adalah satu hal yang jelas dan menjadi masalah besar yang harus dihadapi daripada memikirkan apa itu NKRI. Jadi sebagai imagine community kita harus menjelaskan dengan baik kepada anak-anak muda mengenai arti dari NKRI yang sebenarnya.

Betul sekali. Dalam generasi saya sewaktu mahasiswa dan setelahnya, kata NKRI, Pancasila, dan UUD 1945 adalah slogan Soeharto. Jadi kita malah menjadi nihilis dan ketika dibangkitkan menjadi agak terpaksa.

Ya, itu karena tanpa narasi baru.

Apakah Anda sudah mempunyai trik untuk bermanufer, misalnya dalam proses pengambilan keputusan di DPR, agar bisa bersaing dengan orang yang sudah biasa bertarung dalam politik formal? Apakah kader-kader muda Anda sudah antisipasi mengenai yang harus dilakukan di DPR?

Itu salah satu problem terbesar yang kami harus siapkan. Kebaruan ada, ini memang anak-anak baru tetapi kelemahan anak-anak baru ini adalah jam terbang dalam arti tidak hanya mengenai hal positif tetapi juga mengetahui apa yang buruk. Karena itu kami sudah memulai ada pelatihan-pelatihan untuk kawan-kawan di daerah, ada konsolidasi setiap kali pertemuan, tidak hanya berbicara mengenai teknis bagaiman lolos verifikasi tetapi juga ada nilai.

Banyak orang mengatakan sekarang adalah the end of ideology. Buku ideologi tidak lagi perlu dibaca, tetapi apa sih yang memang menjadi masalah kongkrit yang bisa kita selesaikan? Dua nilai yang selalu kita sebutkan yaitu kita anti terhadap intoleransi. Kalau nanti kami ada di DPR dan DPRD, kami tidak akan pernah membuat sebuah proses perundang-undangan atau legislasi baik undang-undang atau perda yang diskriminatif. Apakah itu Perda Injil atau Perda Syariah. Ini tidak akan pernah ada. Dalam konstitusinya adalah kebebasan beragama menjadi penting, orang berhak untuk mendirikan rumah ibadah dan beribadah. Itu menjadi bagian yang penting.

Kedua yaitu kita anti korupsi, jadi tidak akan ada satu gerakan, satu manufer politik yang kemudian akan memperlemah posisi KPK, tetapi harus ada perbaikan pada diri KPK, ada internal audit di KPK untuk menjalankan proses.

Saya kira dua nilai ini yang nampaknya mudah dicerna oleh teman-teman untuk membangun dan berkomitmen bahwa kita menjadi generasi baru yang memang melihat bangsa ini harus menjadi bangsa modern, dimana tidak ada warga yang boleh didiskriminasi. Kedua adalah spirit anti korupsi yang akan terus kita kobarkan.

Siapakah yang ikut serta ketika Anda melakukan pelatihan atau kaderisasi? Apakah mahasiswa atau individu biasa?

Sekarang masih pengurus saja karena masih pada fase pematangan ideologis internal di provinsi, daerah, dan kecamatan, serta masih ada kendala dana sehingga belum bisa masif. Kemarin sudah mulai berpikir untuk masuk ke basis-basis mahasiswa, dimana kampus-kampus besar mungkin tidak langsung campaign soal PSI tetapi nilai-nilai PSI, sehingga ada kekuatan yang disebut sebagai republikanisme milenial yaitu bagaimana hak-hak sipil diperjuangkan dengan cara-cara yang lebih dipahami oleh anak-anak muda di kampus.

Apakah masih terbuka alam pikiran kampus untuk hal-hal semacam itu karena saya mendengar bahwa golongan intoleran dan garis keras itu sangat berkuasa di kampus-kampus negeri?

Ya, di kampus besar misalnya HTI di IPB, juga ada beberapa ikhwan di kampus-kampus besar. Lagi-lagi kendala dari kelompok moderat ini adalah tidak bisa mengorganisir diri, bahkan yang bergerak di kampus-kampus yang melakukan rekruitmen adalah NU dan Muhammadiyah, dan itu sudah tidak dihitung lagi karena yang real adalah HTI dan KAHMI yang mempunyai afiliasi ke PKS. Menjadi NU dan Muhammadiyah itu bukan proses rekruitmen seperti yang dilakukan sebuah pergerakan, tetapi lebih menjadi turunan. Menurut saya, ini berbahaya dan memang harus ada kesadaran baru untuk memulihkannya.

Bagaimana NU bisa mempertahankan diri terhadap arus ideologi keras, arus intoleransi, dan tetap saja NU itu terbuka, toleran, bahkan sekuler? Mengapa bisa seperti itu?

Kalau kita berbicara secara lebih detail dengan anggota PBNU, ada kondisi objektif yang juga mulai mengkhawatirkan. Pada level elit seperti Kyai Said Aqil Siraj mungkin tidak ada masalah, tetapi kalau kita sudah berbicara pada kyai-kyai lokal di Jawa Timur dan Jawa Tengah ada juga infiltrasi, misalnya lahir kelompok yang menyebut NU garis lurus sebagai kritik terhadap NU yang dianggap sudah bengkok. Menurut saya keadaan seperti ini juga harus dilihat secara jeli.

Mengenai keterbatasan dana yang sempat Anda singgung tadi karena kebutuhan dana ke depan pasti akan lebih besar dan kita tahu mencari dana bisa terlibat ranjau-ranjau sumber dana itu sendiri. Apakah PSI bisa menghindari sumber dana dari pihak orang-orang yang terlibat dalam ekonomi yang tidak sehat di masa lalu?

Pertama, kami tidak mau mendapatkan donasi tunggal karena ini adalah pekerjaan bersama. Karena itu partisipasi menjadi penting. Yang menjadi salah satu kendala politik kita saat ini adalah partisipasi dan tidak ada iuran anggota. Misalkan, ketika kami melakukan rekruitmen di level kecamatan, dan ini menjadi persyaratan verifikasi Kementerian Hukum dan Ham (Kemenhukham) kemarin, rumah teman-teman dijadikan kantor.

Jadi bisa dibayangkan bila ada 7.000 kecamatan dan seandainya itu sewa maka bagaimana biayanya? Kita berusaha approach teman-teman untuk bersedia menjadi pengurus. Ketika mereka bersedia maka langsung kita tanya, apakah bisa rumahnya dijadikan kantor? Kadang-kadang mereka bersedia nya mau, tetapi orang tua atau keluarganya tidak mau, tetapi kita cari terus dan akhirnya ada partisipasi.

Ke depan kita juga mau mencoba menerapkan iuran anggota, suatu hal yang tidak pernah ada di sejarah partai politik kita, tetapi kami menyadari juga ini tidak mudah. Opsinya adalah valuasi. Misalnya, kamu tidak bayar tetapi kamu bisa membuat meme atau membuat status yang membela PSI, berapa kira-kira harga itu? Ikut sebuah pengorganisasian acara, berapa kira-kira biaya untuk itu?

Apakah itu mendatangkan cash flow atau mengurangi biaya?

Tentu mengurangi biaya. Pada Juni 2017 kita akan membuka toko solidaritas untuk menjual merchandise seperti yang diterapkan di beberapa negara. Sebenarnya kalau kita mau jujur sistem partai yang sehat memang harus ada keterlibatan pendanaan dari negara. Tetapi memang ini menjadi topik yang kontroversial karena bagaimana mungkin pendanaan partai dapat ditambah oleh negara ketika kualitas partai dan kualitas anggota legislatifnya sangat buruk sekali.

Apakah di PSI terbuka dan bisa untuk pendanaan dari pelaku bisnis?

Bisa, asalkan sesuai dengan undang-undang, ada aturan dan batasannya, selama itu transparan bisa. Tapi kita berharap tidak ada donator tunggal sehingga partai ini tidak didikte oleh elit tertentu tetapi berbagi dengan kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik yang lain.

Sumber Perspektif Baru

Recommended Posts