Mengajak Generasi Milenial ke Pesta Demokrasi

Oleh: Jannerson Girsang 

“Kita tak mungkin menjalani hidup dari anak-anak kita; bahkan tak mungkin memimpi impian anak-anak kita”

(Khalil Gibran)

TAHUN 2018 merupakan tahun-tahun yang sibuk dan hangat di tanah air. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan pemilukada secara serentak tahun 2018 nanti bakal digelar di 171 daerah, mencakup 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten. Partai-partai, tim sukses berjuang meme­nangkan calon-calon yang didukungnya.

Pemerintah telah menargetkan partisipasi pemilih sebesar 78 persen. Di tengah kesi­bukan itu, mari tidak melupakan anak-anak kita, khususnya Generasi Millenial atau Mille­nium. Untuk mencapai target tersebut, ada baiknya pemilih dari generasi Millenial mendapat perhatian, kelompok yang khas dan sangat potensial menentukan masa depan bangsa kita ke depan.

Perlu media yang tepat bagi penyampaian informasi tahapan-tahapan pemilukada itu, serta strategi untuk menghapus citra pemilukada sebagai rutinitas belaka, politisi hanya mengejar keuntungan semata, politik itu kotor, jahat, menghalalkan segala cara.

Media sosial dan generasi milenium

Media sosial telah mengubah politik Indo­nesia secara drastis, dari semula strukturalis menjadi populis dan dari berorientasi kekua­saan, kini lebih pada keseharian. (Wasisto Raharjo Jati, Kompas 17 Desember 2017). Peru­bahan ini berimpli­kasi penting pada me­nguatnya representasi dan partisipasi niti­zen melalui medsos secara besar-besaran.

Pemilukada kali ini jelas akan berbeda dengan pemilukada sebe­lumnya. Generasi Millenium, yang diperkirakan jumlahnya men­capai 55% pemilih, memiliki karak­teristik yang khas dan harus didekati dengan cara yang berbeda dari sebelumnya, agar mereka tidak apatis, apalagi sampai tidak terdaftar dan masuk ke TPS.

Generasi Millenial (atau sering disebut geneasi Y) merupakan kelompok manusia yang lahir sesudah 19800an hingga 1997. Mereka tahun ini berusia antara 21-34 tahun atau 16-29 tahun pada pemilu­kada sebe­lumnya, dan disebut millenial karena satu-satunya generasi yang pernah melewati mille­nium kedua, sejak teori generasi diem­buskan pertama kali oleh Karl Mann­heim pada 1923.

Generasi Milenium perlu men­da­pat perhatian dalam pemilukada karena karakter mereka yang berbeda dengan generasi sebe­lumnya. Menurut Survei Assosiasi Penye­lenggara Jasa Internet (2016), penetrasi internet oleh kategori umur Millenial sebesar lebih dari 75%.

Mereka dibesarkan di era kemajuan tek­nologi informasi yang mengubah berbagai sendi kehidupan, khususnya media. Generasi Millenium menggunakan internet untuk segala macam urusan, mulai dari mencari berita, memesan tiket, membeli barang, mengirim pesan melalui berbagai media sosial.

Hasil survey yang diungkapkan CSIS me­narik disimak para tim kampanye. Menu­rut survei itu, sebanyak 87% generasi mille­nial memiliki Facebook, 70.3% memi­liki Wats­app, 54,7% memiliki instagram. Gene­rasi ini sudah meninggalkan Twitter dan hanya ber­cokol di sana sebanyak 23.7 persen.

Mereka perlahan-lahan mening­galkan surat kabar, TV, bahkan radio. Saya sudah jarang melihat anak saya yang berusia 26 tahun membaca koran. Mereka hafal Medan Top, segala yang berbau www…com, yang menyajikan berita yang mereka perlukan dan real time.

Kalau saya tanyakan apa berita koran hari ini, jawabnya: “Kan ada di Online”.

Apa yang mereka baca? Dalam artikelnya di Kompas 20 Desember 2017 berjudul Milenial, Politik dan Media, Tsamara Amani, Ketua Partai Solidaritas Indonesia mengutip Daniel Wittenberg, mengatakan bahwa anak-anak muda tertarik issu-isu tentang masa depannya seperti akses pendidikan, pelaya­nan kesehatan, lapangan pekerjaan, dan rumah murah.

Strategi mengajak generasi millenium

Pemilukada 2018 hendaknya bukan hanya sekedar memilih pemimpin yang menduduki jabatan politik yang baru, tetapi juga mendidik generasi muda menjadi pemimpin di masa depan. Pemi­lukada ini mengajar mereka pen­didikan tentang hak dan kewajiban, meng­har­gai demokrasi dan proses demokrasi.

Satu hal, pemilukada harus mam­pu me­mas­­tikan bahwa mereka keluar dari TPS, dan mampu merasakan nikmatnya melak­sa­nakan kewajiban. Karena mereka beberapa ta­hun lagi akan mewarisi masa depan bangsa ini.

Dalam artikelnya di www.huffingtonpost.com berjudul Millenium Voters: We Need You, Dr Ricado Azizz menyebutkan beberapa hal yang perlu dilakukan untuk melibatkan generasi muda berpartisipasi dalam pemilu­kada melalui sekolah, kuliah, tempat mereka bekerja dan lain-lain. Dan tak kalah penting­nya adalah melibat­kan keluarga, kelompok terkecil sebuah bangsa.

Pertama, Proses Registrasi Pemilih. Me­mas­tikan bahwa generasi Millenium terdaftar dalam daftar pemilih. Konse­kuen­sinya, KPU, bekerja sama dengan pemerintah memfa­silitasi proses registrasi dan memastikan mereka paham dan melaksanakan hak demo­krasinya. Perlu aturan-aturan yang sederhana, tidak rumit, untuk mempermudah para gene­rasi muda mendaftar sebagai pemilih. Perlu pihak yang bertang­gungjawab memastikan mereka yang sedang kuliah atau sekolah jauh dari orangtuanya, atau dalam kondisi lain yang dapat menghalangi dirinya menja­lankan hak dan kewajiban demokrasi.

Kedua, Pendidikan Formal. Memastikan bahwa institusi pendidikan kita, memiliki sumber daya dan mandat untuk lebih mendidik kaum muda mengenai kebutuhan, hak dan tanggung jawab mereka dalam pemilukada . Pihak penyelenggara pemilu seharusnya memastikan materi pengetahuan umum tentang demokrasi, proses demokrasi kita benar-benar sampai kepada generasi ini, sehingga mereka mengetahui hakekat demokrasi, tahapan Pemilu, Pilkada, dan tidak apatis.

Mereka seyogianya mengetahui dan sadar sepenuhnya bahwa pemilu­kada bukan politik uang, bukan kampanye hitam (black campaign). Uang Rp 100 ribu tak ada artinya dengan nasib 5 tahun, black campaign itu me­rusak dirinya sendiri!

Ketiga, Pendidikan Melalui Online. Memastikan bahwa sumber berita mereka yang kebanyakan dari online news berisi konten tentang informasi pemilukada itu sendiri. Mereka membutuhkan akses dan infomasi yang menginspirasi mereka berpartisipasi pada pemilukada itu.

Ketiga, Pendidikan Demokrasi di Tengah Keluarga. Memastikan bahwa pemilukada sampai di tengah-tengah keluarga. Di sanalah anak-anak muda kita kebanyakan bermukim dan saling mengingatkan informasi tentang pesta ini. Orang tua harus membekali diri dengan informasi pemi­lukada dan mendidik anak-anaknya berpartisipasi dalam pesta itu.

KPU bersama-sama Pemerintah, Pemerintah Daerah seharusnya sudah menyiapkan hal-hal di atas, sehingga partisipasi Generasi Millenial dalam pemilukada kali ini meningkat.

Ke depan, pemerintah perlu memikirkan anggaran untuk sosialisasi pemilukada kepada para Generasi Milenium, meningkatkan penggunaan situs jejaring sosial untuk mencapai mereka, meningkatkan penggunaan peralatan online untuk mendidik dan memberdayakan pemilih generasi ini.

Selamat memasuki tahun politik 2018. Semoga kita bukan hanya menghasilkan pemimpin melalui proses demokrasi yang benar, tetapi juga mewariskan pelajaran berharga bagi generasi muda kita, betapa pentingnya kita berpartisipasi dalam pemilukada , khususnya mereka yang kita sebut Generasi Millenial. Sehingga tahun tahun ke depan, kita mewariskan pemilukada yang lebih berkualitas, tidak lagi memilih pemimpin yang korupsi atau bermasalah. ***

Penulis, kolumnis dan penulis buku-buku biografi

Sumber

Recommended Posts