Menanti Caleg yang Mumpuni

 

Partai politik (parpol) peserta Pemilu tampaknya harus bergegas mempersiapkan calon anggota lembaga legislatif (caleg) -baik Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Kota/Kabupaten- yang akan ikut bertarung dalam Pemilu 2019. Waktunya tak sampai setahun lagi.

Seperti tercantum dalam lampiran Peraturan KPU nomor 7 tahun 2017, pengajuan daftar caleg oleh parpol dijadwalkan mulai 4 Juli 2018 sampai 17 Juli 2018. Setelah melewati sejumlah proses, KPU akan menetapkan daftar calon tetapnya pada 20 September 2018.

Warga negara yang berhak menjadi pemilih nanti tentu berharap parpol mampu menghadirkan caleg yang lebih berkualitas ketimbang pemilihan-pemilihan sebelumnya. Parpol perlu menyiapkan diri atas tuntutan itu.

Sejumlah kritik muncul atas caleg-caleg yang ikut dalam Pemilu sebelumya, yang dipandang tidak terlalu menguasai tugasnya setelah terpilih sebagai legislator. Masyarakat menyoroti sejumlah caleg yang saat itu lebih menonjol popularitasnya sebagai pesohor ketimbang catatan aktivitas politiknya yang terkait dengan posisi legislator yang diperebutkannya.

Kebanyakan kritikan itu memang mengarah ke sejumlah pesohor di bidang hiburan yang terpilih sebagai legislator pada Pemilu yang lalu. Sampai-sampai, merespon kritik atas kualitas caleg, sempat muncul wacana untuk memperketat persyaratan bagi pesohor hiburan yang berminat menjadi caleg dalam Pemilu 2019 nanti.

Dikaitkan dengan hak konstitusional warga negara, wacana tersebut jelas lebih banyak mendapatkan penentangan. Pengetatan -bentuk halus dari pembatasan- caleg berdasarkan latar belakang pekerjaannya tentu bisa dianggap sebagai bentuk diskriminasi.

Pemilih tak bisa memilih sembarang orang dalam Pemilu. Caleg yang boleh dipilih dalam Pemilu berasal dari pengajuan parpol. Parpol punya peran besar dalam menentukan tersedianya caleg yang mumpuni dalam Pemilu. Rekrutmen caleg yang dilakukan parpol adalah langkah awal yang menentukan kualitas caleg dalam Pemilu.

Masuknya sejumlah pesohor -di bidang apapun- sebagai caleg pada Pemilu sebelumnya tentu tidak terlepas dari penerapan sistem terbuka saat itu. Dalam Pemilu dengan sistem terbuka, caleg yang lolos menjadi legislator adalah mereka yang mendapatkan suara banyak dari pemilih.

Suka tidak suka, terlepas dari caleg yang memiliki popularitas tinggi di tengah para pemilih lebih berpeluang lolos menjadi legislator. Para pesohor tentu lebih mempunyai popularitas tinggi ketimbang yang lainnya.

Selain pesohor, caleg yang lebih berpeluang terpilih adalah mereka yang memiliki modal yang besar. Dengan modal besar itu, para caleg lebih leluasa untuk menyusun strategi kampanyenya -termasuk menggelontorkan uang yang banyak kepada calon pemilihnya.

Itu sebabnya pada Pemilu yang lalu, bahkan ketimbang kepada kadernya, parpol sering dituding lebih dekat dengan dua jenis caleg itu: caleg pesohor dan caleg bermodal besar. Dalam politik jumlah kursi, perolehan suara tentu terasa lebih penting ketimbang kualitas caleg.

Dalam sistem terbuka, pertarungan bukan saja terjadi antara caleg dari suatu partai dengan caleg dari partai lain. Bahkan caleg yang berasal dari partai yang sama pun saling bersaing. Biaya politik menjadi sangat mahal.

Dalam pembahasan RUU Pemilu beberapa bulan lalu, perdebatan untuk memilih antara sistem terbuka dan sistem tertutup mengemuka lagi. Sejumlah kelemahan dalam sistem terbuka tadi menjadi dalih untuk kembali memakai sistem tertutup dalam Pemilu 2019.

Dengan sistem tertutup, caleg yang terpilih menjadi legislator lebih ditentukan oleh parpol ketimbang oleh para pemilih itu sendiri. Kembali memilih sistem tertutup itu menurunkan kembali kualitas demokrasi kita, dan tidak menjamin hadirnya caleg yang berkualitas dan memahami ideologi partai.

UU Pemilu yang baru memastikan bahwa Pemilu 2019 nanti menggunakan sistem terbuka. Sekali lagi, pola rekrutmen parpol akan sangat menentukan kualitas caleg yang disodorkan kepada pemilih dalam Pemilu nanti.

Membatasi para pesohor dalam mencalonkan diri, jelas berseberangan dengan konstitusi. Kembali condong mendekati pesohor dan mereka yang memiliki modal besar tanpa memedulikan kapabilitasnya sebagai calon legislator, juga merupakan bentuk rekrutmen yang bisa kita ragukan mampu memperbaiki kualitas demokrasi kita.

Idealnya, parpol melakukan rekrutmen caleg jauh-jauh hari sebelum penyelenggaraan Pemilu. Dengan begitu proses rekrutmen bisa dilakukan tanpa tergesa-gesa untuk memastikan kesesuaian para calon dengan platform, dan visi parpol -dalam hal politik, kebangsaan dan kenegaraan.

Jika penyelenggaraan Pemilu sudah sebegitu dekat, seperti disarankan oleh banyak pengamat politik, rekrutmen caleg secara terbuka yang melibatkan sejumlah ahli adalah opsi yang patut dilirik oleh parpol. Dengan sifatnya yang terbuka, rekrutmen semacam itu akan menjadi sebuah pendidikan politik yang baik bagi para pemilih. Keterlibatan para ahli dalam proses rekrutmen itu akan memperbaiki kualitas penyaringan berdasarkan kapabilitas si caleg.

Pola rekrutmen secara terbuka dan melibatkan sejumlah ahli telah dilakukan oleh Partai Solidaritas Indonesia. Beberapa parpol lain menyatakan sudah membuka pendaftaran bagi caleg. Apakah juga akan melangsungkan rekrutmen dengan cara yang kreatif dan terukur untuk menghadirkan caleg yang mumpuni kepada para pemilih?

Parpol sungguh harus memikirkan strategi rekrutmen yang lebih baik. Dengan cara itu, bukan saja menjadi strategi yang baik untuk menjaring suara, pendidikan politik kepada masyarakat dan kualitas demokrasi pun berpeluang jauh lebih baik.

Oleh :  Redaksi Beritagar, 

Sumber

Recommended Posts