Melampaui Bad Populism ala Teman Ahok

Oleh: Muh. Ardiansah Laitte

Pengantar:

Esai ini merupakan salah satu karya peserta Lomba Esai “Anak Muda dan Politik” yang diselenggarakan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bekerja sama dengan Qureta pada 2016.

Partisipasi pemuda melalui organisasi relawan belakangan menjadi trend kontestasi politik lokal. Cerita sukses tentang kelompok relawan muda pada pilpres yang lalu menginspirasi banyak anak muda di luar sana untuk melakukan hal yang sama ketimbang harus melalui proses panjang dan berliku di partai politik.

Tim relawan yang selama ini menempati posisi sub-ordinat dan dipandang sebelah mata bisa duduk sama rata dengan para politisi yang lebih duluan berkecimpung pada dunia politik praktis.

Best practise dari tren ini direpresentasekan oleh Teman Ahok. Organisasi relawan yang konon diisi oleh “anak muda militan dan revolusioner” ini meraup atensi publik setelah mengumpulkan sejuta KTP bagi petahana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok untuk maju dari jalur independen. Meskipun Ahok pada akhirnya memilih jalur partai politik namun usaha mereka tidak sia-sia.

Partisipasi populer ala Teman Ahok mengubah keterlibatan masyarakat menjadi alat tekan yang cukup efektif dalam mempengaruhi keputusan elit partai. Beberapa Partai politik besar tidak berani mengambil resiko kehilangan popularitas melawan “kehendak rakyat” sehingga harus bertekuk lutut dan menyatakan dukungan tanpa syarat.

Kentalnya aroma resistensi terhadap elit partai pada setiap artikulasi politik yang mereka sampaikan menjadi magnet tersendiri bagi media dan analis politik yang haus akan sensasi dan kontroversi. Tuduhan deparpolisasi yang dialamatkan kepada mereka pun sempat menjadi headline di sejumlah media massa.

Terlepas apapun pledoi yang mereka ajukan, persistensi Teman Ahok mengidentifikasi diri sebagai relawan tak pelak mempertegas garis demarkasi mereka dengan partai politik.

Partisipasi populer ala Teman Ahok ini memunculkan optimisme tentang kebangkitan politik pemuda namun di sisi lain terdapat keprihatinan tersendiri terkait paradoks yang timbul akibat semangat populisme yang mereka usung.

Populisme boleh jadi positif karena memungkinkan masyarakat yang selama ini termarjinalkan terlibat dalam memilih figur populer yang mereka sukai. Namun demikian, disisi lain dapat menjadi buruk (bad populism) ketika keterlibatan ini dieksploitasi demi kepentingan elektoral belaka tanpa disertai dengan ruang bagi mereka untuk mengakses sumber-sumber penghidupan yang berarti bagi masa depan mereka masing-masing.

Cas Mudde dalam artikelnya yang berjudul “The Problem with Populisme” mendefinisikan Populisme sebagai sebuah ideologi yang memandang bahwa masyarakat pada akhirnya terbelah menjadi dua kelompok antagonis yaitu “the Pure People” vs “Corrupt elite” dan politik harus dijadikan ekspresi kehendak rakyat.

Meskipun belum ada konsensus akademik tentang definisi yang berlaku umum namun ciri perlawanan terhadap pembajakan institusi-institusi demokrasi oleh kekuatan oligarchy menjadi substansi atas banyak gerakan populisme di berbagai negara. Dominasi dari oligarki ini dianggap tidak memberikan ruang partisipasi politik publik untuk menentukan tatanan ekonomi-politik yang adil.

Gerakan populisme ini dikritik karena pengabaian mereka atas keragaman kepentingan dan opini dalam masyarakat. Keragaman ini direduksi melalui klaim eksklusif sebagai representase rakyat sehingga siapapun yang berseberangan distigmatisasi sebagai bagian dari politisi atau setidaknya dicap haters.

Ciri negatif ini dapat kita jumpai dari kegaduhan di sosial media. Tidak sedikit perdebatan ini tidak dibarengi dengan perdebatan substansial tentang program kerja karena lebih menyasar masalah moral personal.

Targetnya sederhana, mendelegitimasi kekuatan oposisi. Entah disadari atau tidak, pihak oposisi juga latah untuk melakukan hal yang sama sehingga pada akhirnya publik tidak memiliki pilihan selain menikmati drama politik yang tak berkesudahan. Suka atau tidak, liberalisasi demokrasi seperti ini tidak selalu identik dengan penguatan demokrasi itu sendiri.

Partai Baru dan Radikalisasi Partisipasi Politik Pemuda

Mari sejenak meninggalkan Teman Ahok, toh mereka akan #TetapAhok dan lawannya akan tetap anti-Ahok. Logika biner yang terbangun tentang “rakyat vs politisi” tidak berhenti pada takluknya oligarki partai dan terpilihnya figur kharismatik yang dianggap baik.

Ketimbang urusan menang dan kalah ada aspek yang jauh lebih penting, yaitu mengembalikan kuasa pada rakyat atau minimal kepada kelompok pemuda yang mereka atas namankan. Krisis legitimasi atas partai politik menuntut lahirnya radikalisasi atas praktek partisipasi populer yang telah ada sebelumnya.

Bagi penulis, radikalisasi partisipasi populer ini menjadi hanya dapat dilakukan oleh partai politik baru. Gerakan relawan ini tidak dapat kita anggap sebagai jalan keluar atas krisis politik yang tengah kita hadapi. Ketimbang mempercayainya sebagai solusi, gerakan relawan ini hanya dapat diposisikan sebagai gejala tidak sehatnya sistem demokrasi yang kita anut.

Burhanuddin Muhtadi dalam artikelnya yang berjudul “Populisme: madu atau racun demokrasi” menjelaskan bahwa klaim-klaim populisme hanya berkembang pada masyarakat yang tengah menghadapi krisis.

Krisis ini ditandai dengan tidak sesuainya janji-janji para politisi saat kampanye dengan realitas ekonomi politik yang mereka rasakan pasca pemilu. Realitas ini yang memungkinkan pimpinan populis memobilisir kemarahan masyarakat untuk menyerang elit politik yang enggan berubah.

Sayangnya, gerakan relawan tidak dapat dihukumi seperti halnya di partai politik. Gerakan relawan menuntut peningkatan akuntabilitas dan transparansi pada partai politik sementara pada prakteknya mereka tidak melakukan hal yang sama. Pada konteks teman Ahok, memang terdapat publikasi dana yang mereka kelola namun hanya sebatas akuntabilitas moral belaka tanpa mekanisme reward and punishment yang jelas.

Jika kontestasi berakhir mereka dapat membubarkan diri dan berganti identitas menjadi gerakan relawan baru tanpa harus bertanggungjawab atas konsekuensi politik dari tindakan mereka. Selesai masalah.

Menggagas perubahan pada internal partai politik lama pun hampir sama mustahilnya mengingat kuatnya cengkeraman oligarki dalam mempertahankan sumberdaya material yang mereka miliki. Meskipun harus diakui bahwa budaya patronase di Indonesia mulai menurun dan digantikan dengan pemimpin populis yang mengantongi dukungan populer namun oligarki partai punya seribu satu cara.

Oligarki partai dapat mengkooptase perjuangan rakyat dengan membajak pemimpin populis yang membutuhkan modal ekonomi untuk menutupi biaya demokrasi yang cukup besar. Bagaimana dengan anak muda yang mereka atas namankan? Lagi-lagi harus berdiri di luar panggung politik dan menunggu belas kasih dari pemenang.

Integrasi Isu Kepemudaan dalam Kebijakan Pembangunan

Mari kita tengok kondisi kepemudaan Indonesia. Faktanya tidak seindah yang kita bayangkan, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah Badan Penelitian dan Pengembangan Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (Balitbang PB HMI) jumlah pengangguran terbuka masih di dominasi oleh kelompok pemuda (usia 15-29 tahun).

Rata-rata Tingkat pengangguran terbuka dari kelompok pemuda sejak tahun 2003 sampai tahun 2014 sebesar 73.5% atau sebesar 6,6 Juta Jiwa. Meskipun sejak tahun 2006 persentase pengangguran pemuda mengalami penurunan namun sejak tahun 2011 angka ini terus mengalami trend peningkatan.

Pada tahun 2014 saja tingkat pengangguran pemuda mencapai 5,5 juta orang atau sebesar 75,7% dari total pengangguran terbuka nasional. Hal ini mengindikasikan bahwa akses pemuda terhadap lapangan kerja masih jauh dari yang diharapkan.

Uraian di atas menjelaskan bahwa aspek kepemudaan ini belum menjadi prioritas utama pembangunan. Setiap tahunnya kita dibuai dengan keberhasilan mantra pembangunan yang menggembar-gemborkan angka pertumbuhan nasional yang cenderung stabil di saat perekonomian dunia terpuruk. Tanpa memperhatikan bahwa pertambahan lapangan kerja tidak cukup elastis menyerap tenaga kerja muda dengan beragam preferensi dan selera.

Latar belakang ini kiranya menjadi alasan yang cukup bagi partai politik untuk memobilisir partisipasi pemuda untuk mendesak lahirnya kebijakan pemuda di tingkatan nasional. Keterlibatan ini tidak hanya dibatasi pada tahap pelaksanaan namun mulai dari tahap perencanaan sampai evaluasi. Kebijakan nasional ini menjadi payung hukum untuk menyatukan visi institusi negara dalam menanggulangi masalah kepemudaan.

Langkah ini mungkin tidak sepopuler mendukung pimpinan kharismatik yang dielu-elukan oleh publik namun jauh lebih berarti untuk membuktikan bahwa populisme ini bukan sekedar kedok dari elit lain yang ingin merebut kekuasaan. Berani kah anda? #LombaEsaiPolitik

Catatan Kaki

[1]. ”https://www.theguardian.com/commentisfree/2015/feb/17/problem-populism-syriza-podemos-dark-side-europe”

[2]. “http://saifulmujani.com/blogs/populisme-madu-atau-racun-bagi-demokrasi”

Lomba Esai Politik PSI ini bekerja sama dengan Qureta, diselenggarakan 20 Agustus-05 Oktober 2016. Dewan juri memutuskan tiga orang juara, yakni juara 1, 2, dan 3, serta tujuh juara harapan.

 

Muh. Ardiansah Laitte
Mahasiswa

Lomba Esai Politik PSI-Qureta Juara Harapan 6

Sumber

 

Recommended Posts