Lonjakan Perkawinan Anak Karena Dispensasi Perkawinan yang Terlalu Longgar

Pada Hari Anak Nasional 2021, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyoroti peningkatan angka perkawinan anak selama pandemi, padahal UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang No.1 tahun 1974 sudah menetapkan usia 19 tahun sebagai batas minimal usia perkawinan, baik laki-laki maupun perempuan.

“Persoalannya menurut kami adalah adanya nomenklatur dispensasi yang pada akhirnya tetap melanggengkan perkawinan anak. Dispensasi ini menjadi masalah jika para hakim tidak memiliki pemahaman yang sama tentang semangat pencegahan perkawinan anak dalam Undang-Undang Perkawinan yang telah diperbaharui ini. Sehingga dalam praktiknya dispensasi perkawinan diberikan tanpa persyaratan yang ketat,” kata Juru Bicara DPP PSI yang sekaligus anggota Komite Solidaritas Pelindung Perempuan dan Anak Mary Silvita dalam keterangan tertulis, Jumat 23 Juli 2021.

Menurut hasil riset Yayasan Plan Indonesia bersama KPI (Koalisi Perempuan Indonesia), sebagai evaluasi satu tahun diundangkannya UU nomor 16 tahun 2019, ditemukan lebih dari 90% permohonan dispensasi kawin dikabulkan oleh hakim. “Jika angka dikabulkannya permohonan dispensasi perkawinan sudah mencapai lebih dari 90%, artinya kan hampir selalu permohonan dispensasi itu dikabulkan oleh pengadilan. Ini yang harus menjadi perhatian bersama.”

“Pengabulan permohonan dispensasi perkawinan harus memenuhi standar kedaruratan yang ketat. Para hakim jangan lagi menjadikan satu perspektif tertentu saja, misalnya pemahaman tekstual terhadap agama, sebagai dasar utama mengambil keputusan untuk menolak atau mengabulkan permohonan dispensasi. Dalam menghadirkan saksi di persidangan perlu juga kiranya melibatkan saksi ahli, bukan hanya saksi dari pihak keluarga mempelai atau pemohon,” lanjut alumni Hukum Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Lebih jauh, Mary mengajak semua pihak untuk sama-sama melihat persoalan perkawinan anak ini sebagai masalah kemanusiaan. Perkawinan anak harus dilihat sebagai bentuk kekerasan terhadap anak.

“Kita harus melihat perkawinan anak sebagai masalah sosial dan kemanusiaan yang serius. Menikahkan anak akan membuat anak kehilangan hak-hak dasarnya sebagai anak. Selain itu, mereka juga menjadi rentan mengalami kekerasan. Dalam banyak kasus, kelabilan emosi juga bisa menjadi pendorong anak melakukan tidak kekerasan terhadap pasangan, dan atau terhadap anak. Sehingga menghentikan perkawinan anak menjadi penting untuk memutus mata rantai kekerasan domestik ini,” pungkas Mary.

Pandemi Covid-19 memicu sejumlah persoalan pelik lain, seperti kemiskinan, putus sekolah, pengangguran, kekerasan dalam rumah tangga, kehamilan yang tidak direncanakan dan banyak lagi. Kondisi ekonomi yang sulit sering kali mendorong orang tua terpaksa mengambil jalan menikahkan anak perempuannya untuk meringankan beban ekonomi mereka.

Recommended Posts