KSPPA PSI Kecam Keputusan Hakim yang Memberikan Hak Asuh Anak kepada Terpidana KDRT

Ketua Komite Solidaritas Pelindung Perempuan dan Anak DPP Partai Solidaritas Indonesia (KSPPA DPP PSI), Karen Pooroe, mengecam putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang memberikan hak asuh anak kepada suami Jubir DPP PSI Bidang Perempuan dan Anak, Imelda Berwanty Purba.

Pasalnya, pria berinisial RTD itu merupakan terpidana kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap Imelda Berwanty Purba berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No.354/Pid.Sus/2017/PN.Jkt.Tim tanggal 5 Oktober 2017 yang sudah berkekuatan hukum tetap.

“Kami sangat mempertanyakan putusan tersebut, bagi kami itu putusan yang sangat tidak fair dan mencederai upaya pemenuhan hak-hak perempuan korban KDRT. Sekali lagi, putusan ini merupakan preseden buruk dunia peradilan kita. Bagaimana mungkin majelis hakim tega memberikan hak asuh pada terpidana KDRT yang sudah terbukti melakukan kekerasan ,” kata Karen, dalam keterangan tertulis, Jumat 10 September 2021.

Selain menjadi terpidana kasus kekerasan dalam rumah tangga, RTD juga telah meninggalkan, menelantarkan, dan tidak menafkahi istri dan kedua anaknya selama hampir 7 tahun.

Setelah melakukan kekerasan dan mengabaikan kewajibannya sebagai seorang suami dan ayah itu, RTD justru menggugat cerai dan menuntut hak asuh anak pada bulan Februari 2021 lalu, alih-alih melakukan kewajibannya untuk melindungi dan menafkahi istri dan anak-anaknya.

Bahkan, pernah suatu ketika setelah meninggalkan dan menelantarkan istri dan anak-anaknya selama 6 bulan, RTD tiba-tiba muncul untuk mengambil paksa dan menguasai secara sepihak anak pertama yang masih berusia 13 bulan, yang kala itu masih menyusu ASI pada ibu kandungnya.

RTD dinilai sosok seorang bapak yang tidak layak diberikan hak asuh, sementara dia pernah merampas hak ASI anaknya yang dilindungi Undang-Undang.

Kejadian ambil paksa yang disertai kekerasan itu terjadi saat Imelda baru saja selesai persalinan melahirkan bayi kedua. Kekerasan keji ini jelas-jelas telah membuat derita pada Imelda dan kedua anaknya.

Imelda yang saat itu masih dalam proses pemulihan pasca persalinan, menjadi syok dan trauma akibat kehilangan bayi pertamanya hingga harus dirawat di rumah sakit bersama bayi yang baru dia lahirkan. Bahkan Imelda ditutup aksesnya sama sekali untuk menemui anaknya tersebut.

Sejak 2015, Imelda berjuang untuk mendapatkan kembali anaknya itu lewat bantuan Ka Seto, LPAI, LBH Apik dan Komnas Perempuan. Hingga akhirnya, 2 tahun kemudian, dengan desakan putusan pidana KDRT tahun 2017 lalu, anak itu dikembalikan dalam pengasuhannya. Karena jika tidak dikembalikan, maka RTD akan mendapatkan pemberatan hukuman pidana kurungan.

Imelda juga pernah dianiaya oleh AB, kakak RTD, seorang bidan di RS Gading Pluit. Imelda diusir dan dianiaya sehingga tangannya terluka, saat hendak melihat bayinya saat itu.

AB pun telah menjadi terpidana penganiayaan, karena terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan, yang tertuang dalam Putusan PN Jakarta Barat No.442/Pid.B/2018/PN.Jkt.Brt tanggal 26 Juli 2018.

Karen melanjutkan, putusan hakim PN Jakarta Timur pada Kamis 9 September itu juga dinilai bermasalah. Sebab, majelis hakim tidak mempertimbangkan sama sekali status hukum RTD sebagai terpidana kasus KDRT, dan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana KDRT dan bukti-bukti pendukung kuat lainnya tentang hal-hal yang telah dia perbuat kepada istri dan kedua anak ketika memutuskan memberinya hak asuh anak.

“Harusnya majelis hakim tahu bahwa yang bersangkutan adalah terpidana kasus KDRT yang diputuskan oleh pengadilan yang sama (PN Jakarta Timur), lalu atas dasar pertimbangan apa kemudian hak asuh kedua anak justru diberikan kepada seorang pelaku KDRT? Jelas ini putusan yang bermasalah, bahkan putusan ini berpotensi menambah derita dan membangkitkan kembali trauma mendalam Imelda dan anak2nya yang masih sangat di bawah umur,” imbuhnya.

Sebaliknya, majelis hakim yang diketuai Henry Dunant Manuhua itu, lanjut Karen, harusnya menolak permintaan RTD akan hak asuh anak tersebut, karena tindak pidana KDRT yang telah dilakukannya sudah memenuhi Pasal 49 Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974.

“Sangat terang benderang bahwa saudara RTD sudah melanggar UU Perkawinan tahun 1974, dia sudah melalaikan kewajibannya terhadap anaknya dan berkelakuan buruk sekali. Sehingga menurut pasal ini, RTD dapat dicabut hak asuh anaknya. Majelis hakim harusnya menolak permintaan hak asuh anak oleh RTD,” ujar perempuan berdarah Maluku itu.

Lebih jauh, finalis Indonesian Idol musim pertama sekaligus penyintas KDRT itu menambahkan, mestinya hak asuh kedua anak diberikan kepada Imelda sebagai ibu kandung.

Karen mengatakan, kedua anak yang masing-masing berusia 6 tahun dan 5 tahun itu masih berusia sangat dini dan sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang serta pengasuhan dari ibu kandungnya.

“Usia di bawah 12 tahun adalah masa-masa penting untuk tumbuh kembang anak, baik fisik maupun mental. Di saat itulah, peran ibu sebagai pendidik pertama dan terutama, yang merupakan benteng pertahanan keluarga sangat dibutuhkan,” ucap dia.

Berangkat dari pengalaman tersebut, Karen khawatir, jika hak asuh kedua anak itu tetap diberikan kepada RTD justru akan membahayakan perkembangan anak, karena ada potensi anak mengalami tindak kekerasan pula. Apalagi keluarga RTD lainnya juga pelaku kekerasan/penganiayaan.

“Kami cemas dengan perkembangan sang anak ke depan jika mereka dirawat dan dibesarkan oleh seorang pelaku kekerasan dan tinggal di tengah keluarga yang biasa melakukan kekerasan dan penganiayaan. Artinya, kemungkinan anak mengalami kekerasan dengan dalih mendidik atau menghukum itu sangat terbuka lebar,” pungkasnya.

Narahubung: Dina 0852 1517 7725

Recommended Posts