Kearifan yang Menyelamatkan dan Merekatkan

Oleh: Dwi Bayu Radius

Supardi (51), warga Desa Cireundeu, Kecamatan Cilograng, Kabupaten Lebak, Banten, menyandarkan sepeda motornya, Selasa (23/1). Namun, dalam hitungan detik, dia termangu-mangu saat kendaraannya itu tiba-tiba jatuh. Sekejap, ia sadar gempa tengah terjadi dan spontan ia memukul kentongan.

Bunyi bertalu-talu menggema ke penjuru Desa Cireundeu yang disambut warga dengan berlarian keluar rumah. Di sudut lain, warga merespons dengan ikut memukul kentongan. Suara nyaring saling bersahutan. Tak berapa lama, warga berjaga-jaga di depan rumah mereka masing-masing dan Supardi pun bernapas lega.

Kesigapan Supardi merupakan tanggapan terhadap gempa di Kabupaten Lebak, Selasa lalu. Gempa berkekuatan M 6,1 yang terjadi pukul 13.34 itu menimbulkan kerusakan yang tergolong besar. Lebih dari 1.000 rumah di kabupaten tersebut rusak, termasuk 19 rumah di Desa Cireundeu.

”Kentongan dibunyikan untuk memberikan peringatan bahaya kepada warga. Orang Sunda menyebutnya kohkol,” kata Supardi. Manfaat kentongan yang menyelamatkan warga desa itu direfleksikan dengan ketiadaan korban tewas. Korban cedera satu orang, yakni seorang ibu berusia 62 tahun.

Perempuan itu terpeleset karena sudah lanjut usia sehingga lengan kanannya patah, bukan tertimpa puing. Kentongan menjadi kearifan lokal yang dipertahankan warga Desa Cireundeu. Dampak bencana karena banjir, gempa, dan tanah longsor bisa dicegah.

”Kalau dipukul empat kali diselingi jeda lalu diulang berkalikali, artinya ada bahaya. Kentongan juga digunakan untuk menginformasikan waktu dan berkumpul,” katanya. Bunyi kentongan diyakini membuat warga terjaga. Efek itu tentu berbeda jika warga diberi tahu dengan ponsel.

”Bisa saja informasi sudah dikirim, tetapi ponsel sedang dimatikan atau disetel mode senyap. Warga yang terlelap lalu menjadi korban jika terjadi gempa,” kata Supardi. Relawan desa tangguh bencana itu mengatakan, bunyi kentongan sangat nyaring karena dibuat dari kayu nangka.

”Pohon nangka banyak tumbuh di Cireundeu. Itu juga bentuk kearifan lokal. Kentongan dari kayu nangka kuat. Tak retak meski dipukul kuat,” katanya. Supardi mengatakan, kentongan bisa tahan puluhan tahun. Jangkauan suara kentongan mencapai 2 kilometer.

Camat Cilograng Edi Sunaedi mengatakan, banyak kecamatan di Lebak yang sudah meninggalkan kentongan. Di Cilograng, penggunaan kentongan tetap menjadi tradisi sejak masa Kesultanan Banten. Kebiasaan itu diteruskan turun-temurun karena di Cilograng ada Kasepuhan Cipinang.

”Kecelakaan bisa diantisipasi berkat kentongan. Alat itu adalah bentuk kepekaan terhadap bahaya. Di kecamatan lain di Lebak, setahu saya kentongan sudah tak digunakan,” ucapnya.

Kearifan lokal juga ditunjukkan warga Kecamatan Bayah, Lebak. Mereka takut berperilaku buruk dengan konsekuensi akan ”ditegur” dengan terjadinya bencana alam. Keyakinan itu sinkron dengan masyarakat Lebak yang dikenal religius.

Peringatan

Yoto Supriadi (65), warga Desa Sawarna, Bayah, mengatakan, keyakinan itu sudah tersimpan dalam benak leluhurnya dulu. ”Sejak nenek moyang, kami meyakini itu. Saya percaya bahwa gempa kemarin juga menjadi peringatan untuk bersikap lebih baik,” ujarnya.

Anggapan itu diimplementasikan Yoto dengan bekerja keras membantu warga Desa Sawarna yang rumahnya rusak akibat gempa. Saat gempa terjadi, dia sedang berada di dalam rumah. ”Saya sedang menggendong anak dan langsung lari keluar rumah,” katanya.

Tanpa berpikir panjang, Yoto langsung berkeliling Desa Sawarna untuk membantu warga lain. Dia membersihkan puingpuing dan menaruhnya di samping rumah warga meski hujan deras dan angin kencang terjadi. Sejak gempa terjadi hingga sehari setelahnya, dia belum tidur.

Berkat kearifan tersebut, hubungan antarwarga pun makin rekat. Pada Rabu (24/1), tidak ada lagi reruntuhan berserakan di Desa Sawarna karena mereka tolong-menolong membersihkannya. Warga juga terlihat membagi-bagikan paket makanan untuk sesama.

Kepala Seksi Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lebak Madlias mengatakan, masyarakat yang tinggal di pesisir Bayah memang memiliki kearifan lokal dengan berupaya berperilaku baik.

”Kalau bersikap tak baik, mereka percaya bahwa sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi. Karena itu, warga menjaga perilakunya,” katanya. Kearifan itu diharapkan bisa terus dipertahankan sehingga bisa menyelamatkan dan merekatkan hubungan antarwarga.

 Harian Kompas, 25 Januari 2018

Sumber

Recommended Posts