Kasus Meliana dan Literasi Agama

Oleh Raja Juli Antoni

Pekan lalu teman-teman dari Jangkar Solidaritas (Jaringan Advokasi Rakyat Partai Solidaritas Indonesia-PSI) menemui Meliana di Lapas Tanjung Gusta, Medan. Seperti diketahui, Meliana dijatuhi hukuman 18 bulan penjara karena dianggap menista agama ketika ia mempersoalkan volume adzan dari masjid dekat rumahnya.

Menurut teman-teman Jangkar Solidaritas, sepanjang pertemuan Meliana menangis tidak ada hentinya. Tidak disangka, obrolan ringannya di sebuah kedai tentang volume adzan dari toa masjid yang terdengar lebih nyaring akhir-akhir ini, membuatnya meringkuk di jeruji besi. Seketika ia menjadi “penista adzan” dan “penista agama”.

Rumahnya dibakar. Beberapa Klenteng di daerah itu ikut dibakar. Anaknya berada di rumah ketika itu, menjadi saksi hidup orang-orang merusak dan membakar properti milik orang lain. Ketika ditemui, anaknya bertekad untuk menjadi seorang pengacara. Pengacara yang tangguh yang mampu membela orang-orang lemah seperti ibunya.

 

Sejarah Adzan

Di dalam ulasan-ulasan kitab klasik, adzan dipersepsikan secara berbeda-beda oleh ulama. Di dalam dunia Sunni, adzan bukan hal yang diucapkan dan ditulis atas dasar perbuatan Nabi Muhammad secara langsung, tapi melalui sahabatnya, yakni Umar bin Khattab.

Suatu hari sahabat Umar bermimpi soal bagaimana memanggil orang untuk salat. Mimpi itu disampaikan kepada Nabi. Lalu, Nabi mengkonfirmasi dan menyetujui apa yang dialami oleh Umar Bin Khattab. Nabi memilih Bilal, seorang dari bangsa Habsyi untuk melakukan adzan. Menurut Nabi, adzan lebih baik daripada lonceng.

Di kalangan Syiah, adzan diyakini sebagai ajaran yang langsung diperintahkan oleh Nabi Muhammad sebagai sarana untuk memanggil orang untuk salat.

Dilihat dari segi historisitas di atas, dua kelompok besar umat Islam –Sunni dan Syiah– bertemu tentang fungsi adzan sebagai cara untuk memanggil orang menjalankan salat wajib lima waktu, meskipun adzan juga biasa dilakukan untuk hal-hal yang lain.

Secara fiqhiyyah sendiri, hukum adzan diperdebatkan. Ada yang menyatakan sebagai wajib kifayah dan ada yang menyatakan sebagai sunnah mu’akkadah. Kedua hukum di atas masing-masing memiliki konsekuensinya.

Sebagai wajib kifayah, cukup satu orang yang melakukan adzan maka muslim yang lain gugur kewajiban mereka. Sebagai ‘sunah yang kuat’ maka melakukannya sangat dianjurkan karena pahalanya besar.

Di dalam banyak catatan sejarah, adzan memberikan magnet bagi keindahan Islam karena di dalam adzan sendiri ada seni suara. Aspek suara yang indah membawa mukjizat tersendiri, membawa orang masuk Islam sebagaimana terjadi di banyak kalangan.

Di Indonesia, adzan sudah menjadi hal yang tidak hanya sekadar tindakan fiqhiyyah saja, namun juga sebagai hal yang sangat erat dengan tradisi kehidupan masyarakat sehari-hari. Aspek kultural dari adzan misalnya terlihat dari bagaimana penggunaan pengeras suara.

Pengeras suara bukanlah bagian dari keabsahan adzan, namun itu hanya alat. Meskipun misalnya teknologi pengeras suara sudah dipakai, bedug dan kentongan masih digunakan. Ini artinya adzan berkembang seiring dan saling tidak menegasikan dengan tradisi lokal.

Pendek kata, praktik adzan, memanggil kaum muslim untuk salat, yang kita dengar minimal lima kali sehari di Indonesia, bukan seratus persen berlandaskan nilai normatif agama, namun di dalamnya juga ada aspek kebudayaan.

 

Advokasi Adzan

Sekitar 2007 saya diundang Menteri Luar Negeri Amerika Serikat untuk mengikuti program International Visitor Leadership Program (IVLP). Sebuah program yang mengizinkan saya berkeliling AS, bertemu dengan berbagai komunitas, LSM, dan pemerintah lokal.

Salah satu yang paling berkesan dari muhibah itu adalah pertemuan saya dengan kelompok lintas agama di sekitar Ann Arbor di negara bagian Michigan. Kelompok ini dipimpin secara kolektif oleh tokoh-tokoh agama yang berbeda di sana.

Seorang rabbi, tokoh Yahudi, dan beberapa pendeta Kristen dengan bangga dan sumringah bercerita kepada saya mengenai kemenangan mereka “mengadvokasi adzan.” Alkisah, pemerintah lokal melarang adzan terdengar ke luar lingkup masjid karena dianggap mengganggu komunitas.

Para rabbi, pendeta, dan tokoh-tokoh agama lain mengajukan gugatan ke pengadilan karena pemerintah dianggap membatasi kebebasan beragama. Mereka juga berdalih, apa salahnya pujian terhadap Tuhan diperdengarkan di ruang publik?

Pengadilan sulit diyakinkan kecuali dengan argumen yang unik satu ini: bila adzan sebagai tradisi Islam untuk memanggil beribadah dilarang, kenapa lonceng gereja yang suaranya juga keluar dari lingkungan gereja diizinkan dan tidak pernah dipersoalkan?

Hakim tercekat dengan alasan itu. Akhirnya disepakati, adzan diperbolehkan dikumandangkan keluar dari lingkungan masjid dengan dua syarat. Pertama, yang boleh dikumandangkan hanya adzan untuk tiga waktu salat saja: Dzuhur, Ashar, dan Maghrib. Isya dan subuh hanya diperbolehkan di “internal masjid” saja karena berpotensi mengganggu komunitas.

Syarat yang kedua, ini yang sangat unik, volume mikrofon adzan dari masjid mesti sama dengan atau tidak melebihi suara yang dihasilkan oleh lonceng gereja. Para teknisi kemudian bekerja menghitung secara cermat ketinggian suara lonceng gereja dan menyesuaikannya dengan mesin toa di samping mimbar masjid.

Cerita ini bagi saya sangat berkesan karena dua alasan. Pertama, saya menyaksikan langsung bagaimana sebuah komunitas menyelesaikan masalah di tengah mereka secara beradab. Ada ruang komunikasi dan negosiasi yang dibuka lebar untuk mencari win-win solution, kesepakatan rasional yang mengedepankan solidaritas dan harmoni sosial.

Kedua, saya juga menyaksikan keimanan kelompok antar-agama di sana yang hampir paripurna. Sebuah iman yang mengayomi dan tidak saling menghakimi. Iman yang sejuk, sabar, ikhlas, serta jauh dari marah dan angkara murka.

Ssungguh, mata saya berkaca-kaca mengingat dan menuliskan kisah perjalanan saya menemui komunitas antar-agama di Amerika Serikat di atas. Di sana adzan diperjuangkan oleh para agamawan non-muslim, sementara di Tanjungbalai klenteng-klenteng dibakar, Meliana meringkuk di penjara karena perkara yang sama.

 

Social Complaint

Kasus Meliana adalah hal yang sangat berharga bagi kita semua berkaitan dengan sejauh mana sebetulnya kita bisa memahami aspek keagamaan dan kebudayaan di dalam kehidupan kita sehari-hari. Meskipun aspek kebudayaan dalam tradisi adzan itu sangat kental –penggunaan pengeras suara dan sebagainya– namun pemahaman kita soal itu masih sangat kurang.

Dalam konteks Meliana, jelas yang dipersoalkan bukan soal adzannya itu sendiri, namun penggunaan pengeras suara yang masuk di ruang publik. Meskipun mayoritas kita adalah muslim, namun ruang publik kita adalah wilayah yang seharusnya netral. Segala hal yang masuk di ruang publik itu dianggap sebagai hal yang netral, halal untuk diperbincangkan, diperdebatkan, dan bahkan dikritisi.

Saya meletakkan masalah kasus Meliana ini sebagai social complaint, bukan religious complaint, karena suara adzan yang dikeluarkan lewat pengeras suara pada hakikatnya sudah masuk di dalam wilayah publik tadi. Komplain Meliana atas suara adzan pada dasarnya sama dengan komplain atas persoalan-persoalan lain.

Bukankah kita sering komplain kepada mu’adzzin yang suaranya cempreng, dan kita biasa saja? Bukankah kita sering meledek suara adzan kakek-kakek yang menyeruak di waktu fajar, karena anak mudanya terlelap tidur? Dan, masih banyak lagi. Namun, atas hal itu semua kita bisa memakluminya karena kita berasal dari golongan dan agama yang sama.

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) di media mengimabu agar suara adzan di masjid jangan terlalu keras. Sebuah social complaint dari Pak JK yang valid dan biasa-biasa saja. Sungguh Pak JK tidak sedang menista agama dan tidak perlu dipenjara.

 

Literasi Agama

Sekitar dua dekade ini, saya melihat bahwa masyarakat kita mengalami gejala “serba agama”. Sayangnya, ke-“serbaagama”-an masyarakat tersebut tidak dibarengi dengan kedalaman pengetahuan tentang agama. Jangankan agama orang lain, pengetahuan tentang agama sendiri juga masih sangat rendah. Gejala demikian sangat mudah terlihat terutama di sosial media.

Selain soal pengetahuan keagamaan yang apa adanya, mereka juga tidak mampu meletakkan kedudukan agama di dalam konteks negara yang berdasarkan pada Pancasila. Agama di dalam Pancasila memiliki makna yang penting. Namun, makna agama yang penting dalam Pancasila itu juga perlu dimaknai secara serius agar kita tidak salah dalam menjalankannya dalam konteks kehidupan sosial, politik, dan keagamaan.

Masalah yang terjadi di tengah-tengah kita adalah mereka yang pengetahuan keagamaannya ala kadarnya banyak yang sangat “agamis” (fanatik), dalam pengertian bahwa mereka membabi buta soal agama. Di mana-mana kita menggunakan agama sebagai topeng atas tindakan yang sama sekali jauh dari nilai-nilai agama.

Buat mereka ini, dengan meletakkan label agama, seolah-olah bisa menghapuskan kesalahan karena mereka sudah mengabdi kepada agama. Pengabdian kepada agama itu tidak boleh dilakukan dengan kebodohan, tapi harus dengan pengetahuan. Pengabdian kepada agama dengan kebodohan bisa membunuh esensi agama itu sendiri.

Selama ini kita taken for granted; jika beridentitas keagamaan tertentu, maka mereka pasti tahu agama yang tertera di dalam identitas mereka. Namun, pengalaman sehari-hari mengajarkan kepada kita bahwa literasi agama adalah hal yang masih sangat kita butuhkan.

Jika kita kembali kepada kasus Meliana di atas, jika kita memiliki pengetahuan keagamaan yang cukup (religiously literate), maka hukuman yang diberikan kepadanya dengan pasal penodaan agama tidak layak terjadi. Kasus Meliana seharusnya tidak perlu terjadi jika kita semua, termasuk para hakim, mengetahui seluk beluk ruang publik dan fungsi agama di dalam konteks NKRI.

Terakhir, di Asian Games kita mendengar teriakan “siapa kita?”, lalu dijawab, “Indonesia”; sebuah jargon yang sangat indah ketika muncul dalam suasana heroik, penuh keberhasilan, dan kesuksesan. Semestinya, jargon seperti itu juga bisa kita gunakan untuk menyelesaikan hal-hal nyata dalam kehidupan sehari-hari, termasuk soal adzan dalam kasus Meliana. Wallahu’alam bishawab!

 

Raja Juli Antoni Sekjen Partai Solidaritas Indonesia (PSI), alumni Pondok Pesantren Darul Arqom Garut dan alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Jurusan Tafsir dan Hadis.

*Esai ini pertama kali terbit di Detik.com

Recommended Posts