Jangan Revisi UU Pemilu Hanya Demi Kepentingan Jangka Pendek

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyatakan UU No 7/2017 tentang Pemilu belum perlu direvisi saat ini.

“Kami berpandangan UU No 7/2017 tentang Pemilu belum perlu direvisi. Sebaiknya UU dievaluasi dan diubah setelah diterapkan pada 4 atau 5 kali pemilu, jangan terlalu sering, biar kita punya pengalaman yang lebih objektif,” kata Plt Sekjen DPP PSI, Dea Tunggaesti, dalam keterangan tertulis, Selasa 5 Januari 2021.

Sejak beberapa bulan lalu, DPR tengah menggodok revisi UU Pemilu. Draf revisi UU Pemilu sudah diserahkan ke Badan Legislasi (Baleg) DPR. Namun, November 2020, Baleg DPR meminta Komisi II mematangkan kembali draf sebelum pihaknya melakukan harmonisasi.

Ada beberapa usul perubahan yang dimajukan, Di antaranya sistem pemilu (terbuka, tertutup, campuran), ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT), presidential threshold, dan metode penghitungan suara.

Dari poin-poin yang diusulkan untuk direvisi, lanjut Dea, banyak yang baru dilaksanakan satu kali, yaitu di Pemilu 2019. Sebut saja aturan tentang keserentakan pilpres dan pileg, parliamentary threshold 4%, presidential threshold 20%, dapil magnitude, atau metode penghitungan suara.

“Mengamati situasi seperti itu, PSI beranggapan ada tendensi bahwa UU Pemilu hendak diubah tergantung kepentingan partai-partai politik yang tengah berkuasa. Bukan didorong kebutuhan objektif dan menyangkut kepentingan bangsa yang lebih besar,” lanjut Dea.

Ia menyatakan, para politisi di parlemen selayaknya bertindak sebagai negarawan, termasuk dalam menyikapi usulan revisi UU pemilu.

“Revisi itu seyogyanya bertujuan untuk terus memperkuat sistem politik kita. UU bukan untuk dibongkar-pasang kapan saja, mengikuti kepentingan politik jangka pendek,” ujar doktor Ilmu Hukum tersebut.

Recommended Posts