Eksklusif Tsamara Amany: DPR Sumber Masalah

Tsamara Amany, politikus muda Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang belum lama ini bertengkar dengan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah seputar Panitia Khusus KPK, berkunjung ke kumparan.

Mahasiswi semester 6 Universitas Paramadina–ya, umurnya baru 21 tahun–yang mengagumi Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu berbincang berbagai hal, termasuk politik yang menjadi passion-nya, dengan kumparan. Berikut petikan wawancaranya.

Kenapa masuk ke politik?

Sebenarnya emang dari muda aku suka politik. Tsamara itu dari usia tiga tahunan pas Pilpres 1999 suka teriak-teriak di depan TV, “Gus Dur! Gus Dur!” Seneng banget sama Gus Dur (Abdurrahman Wahid).

Gue sih gak ngerti, pokoknya tertarik aja sama peristiwa politik. Nah, baru kepikiran untuk punya kontribusi, nulis, bisa mengawasi pemerintaham tahun 2014 pas Jokowi kepilih jadi presiden.

Aku magang di kantor Gubernur DKI Jakarta selama 4 bulan. Pas magang ikut bantu simplifikasi perizinan. Sama Pak Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) diminta naikin izin usaha, supaya ranking indonesia di indeks kemudahan berbisnis World Bank itu naik.

Jadi kami simplifikasi izin itu, dari 165 hari jadi 43 hari dan 6 jam. Dan kami buat survei kemudahan berbisnis Jakarta. Kontribusinya ke Indonesia, Indonesia naik 16 peringkat dalam bidang pembukaan usaha. Waktu itu aku seneng banget, ngerasa punya kontribusi konkret.

Kalau jadi staf magang aja kita punya kontribusi seperti itu, bayangin nggak kalau kita punya jabatan politiknya. Jadi gubernurnya, wakil gubernurnya, jadi anggota DPR. Jadi kita andil dalam proses pengambilan keputusan. Kebijakannya bisa dirasakan oleh masyarakat banyak.

Tapi untuk berkontribusi buat masyarakat, banyak jalur lain. Lewat organisasi atau aktivitas sosial, misal. Kenapa pilih politik elektoral?

Sebenarnya pernah juga temen nanya, “Kan kalau pengen kontribusi ke pemerintahan, lu bisa jadi PNS? Atau lu bisa aja jadi staf pemerintahan. Misalnya staf presiden atau staf gubernur. Tapi kenapa lu milih politik elektoral?”

Karena menurut aku, masalah yang ada itu di DPR RI. DPR kurang mendengar aspirasi rakyat.

Sistem presidensiil kita nggak begitu presidensiil, dan presiden kadang suka tersandera karena banyaknya partai politik di DPR. DPR-nya mungkin terlalu banyak kepentingan sehingga presiden ikut tersandera.

Untuk mengubah Indonesia, untuk membikin keputusan yang lebih bermanfaat, ya harus dibenerin sumber masalahnya: DPR itu.

Kita nggak bisa menafikkan partai politik. Mesti masuk partai politik karena nggak ada anggota DPR (dari jalur) independen.

Aku percaya kita bisa masuk ke satu fraksi rame-rame anak muda semua. Dan anak mudanya idealis. Anak muda yang tahu mau ngapain kalau mereka di DPR. Kalau (misal) anak muda masuk DPR satu fraksi dan kerjanya bener.

Mungkin sulit, (PSI) belum sehebat partai-partai besar.

Tapi bekerja benar di DPR itu harus mendengar aspirasi rakyat, transparan saat kunjungan kerja. Nanti masyarakat akan melihat jika ada fraksi-fraksi yang nggak mendengar aspirasi mereka, yang mendengar dan memperjuangkan aspirasi mereka

Ada standar yang kami set (di PSI). Fraksi dan partai lain mungkin menganggap kami remeh. Tapi kalau kami tidak mengikuti standar ini, maka kami akan ditinggalkan masyarakat.

Apa yang ingin seorang Tsamara ubah dalam perpolitikan Indonesia?

Sebenarnya banyak, tapi kalau misal fokus ke isu yang sedang mencuat: korupsi.

Indonesia sudah masuk ke era keterbukaan informasi, meski kita nggak transparan transparan banget. Misal di DPR, kita tahu nggak sih setiap anggota DPR digaji berapa? Oke setelah kita tahu mereka digaji berapa, itu hak dia. Tapi kemudian ada uang reses. Harusnya ada laporan yang jelas terkait kunjungan-kunjungan DPR.

Kunjungan kerja ngehabisin uang berapa. Kunjungan kerja dua hari sampai seminggu kok sekalian jalan-jalan, ada yang sampai membawa keluarga. Kalau biaya sendiri nggak apa-apa, kalau pakai biaya negara itu jadi permasalahan. Itu semua harus dibuka ke publik–ada transparansi, harus tahu semuanya.

Di level nasional harus ada model e-budgeting. Kenapa? Karena masyarakat semakin sadar. Kita tahu Pak Jokowi pakai dana untuk infrastruktur, tol Trans-Sumatera, bangun jalan di Papua. Tapi kita kan nggak bisa lihat dengan detail anggaran Rp 2.000 triliun dipakai buat apa.

Jadi keterbukaan informasi menjadi penting. Kalau misalnya kita hanya meminta masyarakat partisipatif tanpa transparansi, ya masyarakat nggak bisa berpartisipasi. Karena itu jadinya semu.

Jika memang masyarakat diajak berpartisipasi di era transparansi, perlu ada transparansi yang jelas anggaran dipakai buat apa–anggaran anggota DPR dipakai buat apa, anggota DPR ngapain aja.

Jadi dalam demokrasi, kita nggak cuma sekadar memilih dan selesai. Kita harus ikut mengambil keputusan dan mengerti apa yang diawasi.

Ada bayangan akan sejauh apa melangkah di dunia politik?

Aku selalu set cita-cita yang tinggi. Aku ingin jadi Gubernur DKI Jakarta. Aku selalu bilang itu.

Kenapa jadi Gubernur DKI Jakarta? Orang bilang, kalau mau set cita-cita tinggi sekalian aja jadi Presiden RI.

Tapi aku ingin membawa perubahan buat kota kelahiranku dulu.

Ada yang bilang lagi, “Nanti kalau misalnya Jakarta nggak jadi ibu kota lagi karena ibu kota dipindah?”

Oh ya nggak apa-apa, aku tetep di Jakarta, jadi gubernur di Jakarta. Bagiku, sebelum membawa perubahan ke mana-mana, harus membawa perubahan di Jakarta dulu.

Gubernur Jakarta itu kalau mengambil keputusan bermanfaat banget–kalau keputusan yang diambil dengan niat melayani rakyat. Aku ingin sekali (bisa mengambil) keputusan penting, kebijakan-kebijakan penting, membangun sistem yang sudah dibangun dengan baik dan melanjutkannya–dirasakan oleh 10 juta rakyat Jakarta.

Aku kemudian menjadi rakyat Jakarta, menjadi pelayan jakarta, membantu kota kelahiran.

Tapi aku sadar, sekarang usiaku belum cukup. Untuk jadi gubernur, baru bisa (jika sudah) 30 tahun. Tapi itu nggak apa-apa sih, masih ada 10 tahun.

Karena pada akhirnya orang memilih, jadi kalau menjadi gubernur mesti punya rekam jejak. Apa rekam jejakku? Apa karena koar-koar nulis? Kan nggak cukup. Apa orang ini bersih, apa orang ini mampu menduduki, (harus diuji lebih dulu).

Nah yang aku pikirkan sekarang adalah, apakah aku akan mencalonkan diri menjadi anggota DPRD DKI atau anggota DPR RI lebih dulu? Karena dengan begitu masyarakat bisa melihat apakah ketika aku menjadi anggota DPRD dan DPR RI nanti, kerjaku bagus, nggak? Bisa mendengar aspirasi rakyat, nggak? Apa jangan-jangan sama dengan politikus-politikus lain?

Di sanalah (DPRD atau DPR) aku ingin membangun rekam jejak. Agar ketika aku nanti mau mencalonkan menjadi Gubernur DKI, orang sudah tahu, ‘Oh iya, dia antikorupsi kok, dia transparan kok soal pekerjaannya. Dia kalau waktu reses ketemu rakyat kok, nggak jalan-jalan pakai uang reses.’

Pengen juga nerapin eksperimen politik yang asyik, misalnya bikin fundraising. Dengan fundraising, kita minta uang sama masyarakat untuk membiayai kita berpolitik, membiayai kita mencalonkan.

Jadi mau nggak mau kita dipaksa menjelaskan ke masyarakat tentang visi misi kita, tentang program kita. Karena kalau kita minta suara ke masyarakat mesti jelas, apalagi minta masyarakat membiayai kita.

Bagaimana komentar teman-teman kamu ketika kamu memutuskan terjun ke politik? Apa sempat khawatir disebut haus kekuasaan?

Nggak sih, temen-temen aku support. Banyak yang mungkin berbeda pandangan secara politik sama aku. Tapi bagi mereka, ini bukan masalah pandangan politik, namun memang setiap anak muda mesti punya sikap politik.

Mau bela siapapun ya itu hak pribadi. Tapi anak muda harusnya nggak berdiam diri. Harus berbicara.

Sumber: Kumparan

 

Recommended Posts