Catatan Awal Pekan: Melawan Serigala

“Homo homini socius”

Untuk menggambarkan kerakusan, kekejaman, dan keganasan-tentang sisi gelap-manusia atas manusia lain, ungkapan homo homini lupus sering digunakan. Ungkapan itu-dari sejumlah sumber dan literatur-pertama kali muncul dalam tulisan penulis Roma era awal masehi, yaitu Titus Maccius Plautus berjudul Asinaria.

Ungkapan itu merupakan kutipan dari jawaban Mercartor kepada Leonida Servus dalam adegan kedua Asinaria, yakni lupus est homo homini, non homo, quom qualis sit non novit (www.thelatinlibrary.com). Kalimat itu secara harfiah dapat diartikan sebagai: manusia adalah serigala bagi manusia lain, bukan manusia, sesuatu yang tidak dia ketahui.

Selain ungkapan tulus seperti merpati, tampaknya dalam khazanah bahasa lebih banyak ditemukan ungkapan atau peribahasa dengan menggunakan nama binatang yang artinya cenderung negatif. Misalnya, akal kancil yang bermakna tipu muslihat atau otak udang yang berarti bodoh. Teristimewa untuk homo homini lupus, ungkapan itu menyiratkan nafsu memangsa, membinasakan.

Manusia digambarkan hadir sebagai ancaman mematikan bagi manusia yang lain. Ungkapan itu menyiratkan tidak adanya ciri manusia sebagai makhluk sosial, yang berjiwa, memiliki roh, dan akal budi. Segala kekayaan-yang dalam perspektif teologis-dikaruniakan Allah sebagai pembeda antara manusia dan ciptaan lainnya, termasuk binatang.

Kabul

Berita tentang bom mobil di Kabul, ibu kota Afghanistan, Sabtu (27/1), yang menewaskan sedikitnya 95 orang dan melukai lebih dari 160 orang membuat publik dunia kembali tercengang. Pertengahan tahun lalu, serangan serupa juga terjadi di Kabul dan menewaskan 90 orang. Awal Maret tahun lalu-sekelompok orang bersenjata dengan menyaru sebagai petugas medis-menyerang Rumah Sakit Militer Sardar Mohammad Khan.

Sedikit atau banyak, yang tewas adalah manusia. la bisa jadi adalah ayah, ibu, anak, kakak, adik, atau kerabat dari manusia lain. Mereka memiliki cita-cita, harapan, dan tanggung jawab atas dirinya dan orang lain di sekitarnya. Kematian mereka adalah kehilangan bagi manusia lain. Jika merujuk itu, korban serangan di Kabul jauh lebih banyak dari jumlah korban yang tertera di papan-papan pengumuman di rumah-rumah sakit kota itu.

Apa pun alasan pelaku-siapa pun mereka-adalah tidak dibenarkan melakukan serangan terhadap rumah sakit. Dalam peristiwa terakhir di Kabul; tindakan para pelaku yang menggunakan ambulans sebagai alat untuk menyerang tentu sangat, sangat, disesalkan.

Penggunaan ambulans sebagai sarana penyerangan menyiratkan betapa jahatnya niat yang mereka miliki. Simbol layanan kesehatan dim pertolongan mereka gunakan sebagai alat untuk mematikan.

Melawan hasrat dan keangkaraan manusia, N Driyarkara dalam laman resmi Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara mengemukakan pemikiran tentang manusia sebagai kawan bagi manusia lain, homo homini socius. Pemikiran ini diletakkan untuk mengoreksi sosialitas preman, yang memangsa, yang membenci, dan membinasakan sebagaimana tersirat dalam ungkapan homo homini lupus. Prinsip yang ingin ditegaskan Driyarkara adalah manusia merupakan bagian dari dialektika dan usaha untuk menghadirkan harapan serta kehidupan bagi dirinya dan sesamanya.

Dalam situasi seperti itu, adalah baik apabila kemudian mengingat kembali apa yang disuarakan tokoh Afrika Selatan, Nelson Mandela, yang mengatakan, “Tidak ada manusia dilahirkan untuk membenci orang lain karena warna kulitnya, atau latar belakangnya, atau agamanya. Orang harus belajar membenci dan, jika bisa belajar membenci, mereka bisa diajari untuk mencintai, karena cinta datang secara alami ke hati manusia daripada kebalikannya.” (B JOSIE SUSILO HARDIANTO)

Harian Kompas, 29 Januari 2018

Sumber

Recommended Posts