Bom Surabaya dan Empat Generasi Teroris di Indonesia

Oleh: Mohamad Guntur Romli

Bom bunuh diri yang menyerang Surabaya dan Sidoarjo secara beruntun, yang dilakukan oleh tiga keluarga sekaligus, menunjukkan telah lahir generasi baru teroris dan memulai babak baru terorisme di Indonesia.

Sebelum ini Bom Bali Bali I tanggal 12 November 2002 adalah permulaan dari babak terorisme di Indonesia, baik dari sisi generasi, modus aksi, bahan peledak, sasaran dan keterlibatan jaringan teroris internasional.

Secara kronologi generasi teroris di Indonesia bisa dibagi menjadi empat. Generasi pertama yang berasal dari kelompok teroris lokal: Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dari tahun 1950-1980, Generasi kedua yang dilakukan Jamaah Islamiyyah (JI) dari tahun 1980-2001, Generasi Ketiga merupakan “Alumni/Veteran Perang Afghanistan” dari Tandzimul Qaidah Osama Bin Laden dengan Bom Bali I 2002. Generasi Keempat, Jaringan ISIS dengan Bom Sarinah-Thamrin 2016 dan Bom Surabaya 2018.

Bom Bali I tahun 2002 bisa disebut babak baru terorisme karena aksi-aksi teror pasca tahun 2002 di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari jaringan Bom Bali I, baik individu-individu yang terlibat langsung dalam Bom Bali I atau pun generasi selanjutnya yang merupakan anak didik rekrutan jaringan Bom Bali I yang melahirkan aksi Bom Bali II tahun 2005.

Dengan keterampilan militer dan merakit bom hasil didikan di kamp-kamp perang Afganistan, Generasi Bom Bali I mampu merakit bom dengan daya ledak tinggi dan tehnik bersembunyi serta menghindari dari kejaran dan pengungkapan aparat. Kita menyaksikan pengejaran aparat keamanan terhadap generasi Bom Bali I yang membutuhkan waktu bertahun-tahun, bahkan sampai Generasi Bom Bali I itu mampu melahirkan generasi teroris selanjutnya yang tidak pernah pergi ke Afghanistan.

Bom Bali I juga melahirkan tren baru teroris: bom bunuh diri yang pelakunya dikenal dengan sebutan “pengantin” yang pertama kali dilakukan oleh Iqbal yang menggunakan bom rompi dan meledakkan dirinya di Paddy’s Pub dan Jimi yang menggunakan bom mobil dan meledakkan bersama dirinya saat menyerang Sari Club. Aksi bom bunuh diri tidak dikenal sebelum Bom Bali I 2002.

Generasi Bom Bali I ini pula menguatkan jaringan teroris internasional di Indonesia melalui jaringan Tandzimul Qaidah, baik dari sisi ideologi, pendanaan, pelatihan militer dan merakit bom, serta bantuan-bantuan strategis lainnya. Meskipun kontak dengan jaringan teroris internasional sudah dimulai sejak generasi teroris kedua (Jamaah Islamiyyah), yang asalnya merupakan jaringan teroris Jamaah Islamiyyah di Mesir, bersama kelompok-kelompok lain seperti Tandzimul Jihad dan Jamaah Takfir wal Hijrah, namun dalam generasi kedua ini masih dalam tataran pengaruh ideologi saja. Sementara hubungan Generasi Bom Bali I dengan jaringan teroris internasional Al-Qaidah, tak hanya terpengaruh dari sisi ideologi tapi juga adanya bantuan pelatihan militer, merakit bom dan pendanaan.

Dari Jaringan Al-Qaidah ke Jaringan ISIS

Perubahan aktor jaringan teroris internasional, dengan meredupnya Al-Qaidah dan naiknya ISIS mengubah peta jaringan teroris di Indonesia. Meskipun beberapa aktornya masih jaringan lama, yakni produk Jamaah Islamiyyah (JI) dan Al-Qaidah, namun dengan munculnya ISIS, tak sedikit dari mereka meninggalkan Al-Qaidah dan berbaiat ke ISIS, seperti yang dilakukan oleh Santoso alias Abu Wardah di Poso, Abu Bakar Ba’asyir, Aman Abdurrahman yang merupakan mantan pengikut JI dan Al-Qaidah sebelumnya.

Sedangkan pengikut JI dan Al-Qaidah yang setia, menolak berbaiat ke ISIS tetap memakai jaringan Al-Qaidah dan kelompok baru di Suriah yang terafiliasi ke Al-Qaidah, Jabhah Nusroh. Nama yang bisa disebut dalam jaringan ini adalah Ridwan anak dari Abu Jibril yang bergabung dengan Jabhah Nusroh di Suriah dan tewas di sana. Ridwan dan kawan-kawannya bukan pengikut SIS tapi pengikut Jabhah Nusroh yang terafiliasi dengan Al-Qaidah. Antara ISIS dan Jabhah Nusroh (Al-Qaidah) terjadi persaingan bahkan konflik fisik, dalam merekrut pengikut serta dalam menjalankan aksi-aksi teror.

Bom Surabaya 2018 adalah generasi keempat. Jika dirunut: Generasi Pertama: DI/TII, Generasi Kedua: Jamaah Islamiyah (JI), Generasi Ketiga: Al-Qaidah dengan Bom Bali I 2002 dan Generasi Keempat: ISIS.

Apabila aksi-aksi teror Generasi Keempat ISIS di Indonesia sebelum ini dilakukan oleh mantan pengikut JI dan Al-Qaidah yang berbaiat ke ISIS dengan tokohnya seperti Abu Bakar Ba’asyir, Santoso Abu Wardah dan Aman Abdurrahman, sementara Bom Surabaya 2018 merupakan produk dari gelombang “hijrah” keluarga yang bergabung dengan ISIS baik di Suriah dan Iraq.

Bom Surabaya: Jaringan “Alumni ISIS”

Generasi Jaringan Alumni ISIS menjadi generasi teroris mutakhir di Indonesia. Bila rangkaian teror bom di Indonesia sejak tahun 2002 dilancarkan oleh Generasi Alumni Perang (Veteran) Afghanistan yang terkait Tandzimul Qaidah, maka, Bom Surabaya Generasi Alumni ISIS telah menggantikan Alumni Perang Afghanistan.

Ada fenomena veteran perang ini terpaksa “mudik” alias kampung setelah wilayah yang menjadi basis pertempuran mereka jatuh ke tangan lawan. Afghanistan yang dikuasai rejim Taliban dan Al-Qaidah pada akhir tahun 2001 jatuh ke tangan AS dan sekutunya. Para veteran tercerai berai dan terpaksa “pulang kampung” dengan membawa amunisi dan keahlian militer untuk melanjutkan “jihad” di asal masing-masing. Terjadilah Bom Bali I, 12 Oktober 2002 yang pelakunya adalah Alumni Perang Afghanistan, Hambali, Dr Azahari, Amrozi, Imam Samudra, Mukhlas dll.

Setelah Generasi Veteran Afghanistan ini lahir generasi anak-anak didik mereka yang berhasil direkrut yang merupakan “Murid-murid Veteran Afghanistan” yang melakukan Bom Bali II, JW Marriot dll atau alumni-alumni yang lain, seperti “Alumni Mindanao” “Alumni Poso” dan dari wilayah-wilayah konflik lainnya, hingga fenomena “Generasi Teroris produk Internet dan Medsos” adalah mereka yang tidak pernah berguru pada tokoh alumni konflik/kombatan dan tidak pernah pula pergi ke wilayah konflik, tapi belajar sendiri merakit bom dan aksi teror melalui internet dan berhubungan dengan donatur serta pemberi fatwa melalui media sosial (misalnya Pasangan Solihin-Dian Yulia yang gagal melakukan bom bunuh diri melalui bom panci 2016 memiliki relasi dengan Bahrun Naim, pengikuti ISIS di Suriah dan Iraq). Generasi teroris produk medsos dan internet ini melahirkan istilah “lone wolf” dalam generasi teroris.

Sedangkan keluarga Dita-Puji yang menjadi pelaku bom bunuh diri di tiga lokasi di Surabaya adalah keluarga Jaringan “Alumni ISIS” setelah wilayah ISIS di Iraq jatuh ke tangan AS dan sekutunya dan wilayah ISIS di Suriah kembali dikuasai rejim Assad, Rusia dan sekutunya pada tahun 2017.

Masalah terbesar saat ini adalah dari 1000 orang lebih warga Indonesia yang ikut ke Suriah dan Iraq baik yang bergabung dengan ISIS dan Jabhah Nusroh (Al-Qaidah), sudah kembali 500 orang lebih, dan mereka tidak bisa ditahan karena kekosongan hukum. UU Tindak Pidana Terorisme No 15 Tahun 2003 tidak bisa menjerat mereka yang terlibat organisasi dan aksi teror di luar wilayah NKRI. Tentu saja tidak semua dari 500 orang itu adalah ancaman, namun 1 keluarga Alumni ISIS ini yang melakukan bom bunuh diri dan menyerang 3 lokasi sekaligus sudah memberikan dampak teror yang luar biasa, bagaimana dengan mereka yang masih bebas berkeliaran?

Bom Surabaya: Formasi Lengkap Keluarga Terlibat Terorisme

Generasi “keluarga lengkap teroris”, dari suami, istri dan anak menjadi ciri khas yang nyata dari generasi teroris ini bila dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Teroris sebelumnya hanyalah ikatan keluarga kakak, adik, ipar (misalnya: Mukhlas alias Ali Ghufron bersaudara: Amrozi dan Ali Imron).

Sedangkan pelaku bom bunuh diri di tiga Gereja di Surabaya adalah Keluarga Suami-Istri: Dita Oepriarto-Puji Kuswati, bersama keempat anak mereka (kecuali anak mereka yang berumur 16, 12 dan 9 tahun sebenarnya adalah korban orang tua mereka), demikian pula bom yang meledak di Rusunawa Sidoarjo yang melibatkan Keluarga Anton Febrianto-Puspita Sari dan bom bunuh diri yang menyerang Polrestabes Surabaya, adalah Keluarga Tri Murtono-Tri Ernawati.

Bom Surabaya: Pelaku Bom Bunuh Diri Wanita bersama Anak-Anaknya sebagai Kedok

Bom Surabaya menunjukkan modus baru bom bunuh diri dalam aksi terorisme yang dilakukan oleh wanita dewasa dan menjadikan anak-anak di bawah umur sebagai tameng hidup aksi terorisme. Sebelum ini aksi terorisme dilakukan oleh kalangan pria, baik pria dewasa, pria muda dan remaja (Bom Bali II, November 2005 pelakunya berumur 20 tahunan), Bom JW Marriott Juli 2009 pelakunya remaja (Dani berusia 18 tahun).

Penggunaan wanita sebagai pelaku bom bunuh diri menjadi ciri khas “Generasi ISIS”, Generasi Keempat Teroris di Indonesia. Sebelum ini sudah ada pelaku wanita bom bunuh diri, tapi gagal meledak. Dian Yulia Novi yang terpengaruh ideologi ISIS, akan melakukan bom bunuh diri dengan Istana Negara sebagai sasarannya yang gagal karena tertangkap. Ia melakukan aksinya bersama suaminya M Nur Solihin. Pasangan Solihin dan Dian Yulia menerima perintah dari tokoh ISIS asal Indonesia, Bahrun Naim. Pada Agustus 2017, Dian Yulia divonis 7.5 tahun penjara dalam kondisi hamil tua hasil perkawinannya dengan Solihin. Saat pekan lalu berita viral seorang bayi ada di Rutan Mako Brimob adalah anak dari Dian Yulia ini.

Sebelum Dian Yulia ada sejumlah wanita yang diadili dalam kasus terorisme tidak sebagai pelaku tapi hanya ikut membantu. Misalnya Munfiatun, istri Noordin M. Top, Putri Munawwaroh, istri Susilo pengikut Noordin M. Top, dan Denny Carmelita merupakan istri Pepi Fernando, pelaku bom termos yang mengincar rombongan Presiden SBY pada 2009. Namun sebelum ini tidak ada yang melibatkan anak-anak dalam aksi terorisme.

Sedangkan Bom Surabaya, melalui Puji Kuswanti, adalah wanita, istri dan ibu dari 4 orang anak yang menjadikan anak-anaknya sebagai tameng hidup dan modus operandi aksi teror. Demikian pula Keluarga Anton dan Pelaku Bom Polrestabes yang membawa anaknya, Ais (7 tahun) yang masih kecil, dalam aksi bom buni diri, Ais terlempar dan selamat.

Bom Surabaya: Bahan Peledak dari TNT dan C-4 ke TATP (The Mother of Satan)

Selain formasi keluarga lengkap sebagai aksi teror, pelakunya wanita dan menggunakan anak-anak sebagai kedok, Generasi Bom Surabaya mengenalkan bahan peledak yang lebih canggih bila dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Bom Surabaya menggunakan jenis Triacetone Triperoxide (TATP) yang dikenal sebagai “The Mother of Satan” sebagai ciri khas bom rakitan ISIS.

Sedangkan generasi teroris sebelumnya, mulai Bom Bali I menggunakan jenis Trinitrotoluene (TNT) dan C-4. Letak kecanggihan bom rakitan ISIS, TATP ini menurut Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian bila bom TNT dan C-4 keduanya masih membutuhkan detonator untuk meledak. Sedangakan jenis TATP ini hanya dengan guncangan saja sudah bisa meledak.

Generasi Bom Surabaya: Akankah Seperti Generasi Bom Bali I?

Bom Surabaya bagi saya telah menunjukkan kelahiran Generasi Teroris, Generasi Keempat, Jaringan Alumni ISIS yang bisa menggantikan generasi teroris sebelumnya, Jaringan Alumni Al-Qaidah di Afghanistan.

Mengapa bisa disebut sebagai generasi baru teroris? Dari pemaparan di atas, bisa saya simpulkan beberapa ciri khas generasi teroris dari Bom Surabaya ini:

Pertama karena jaringan pelakunya merupakan jaringan Alumni ISIS bukan lagi jaringan lama: Alumni Al-Qaidah. Kedua, formasi lengkap satu keluarga yang tidak ada pada generasi teroris sebelumnya. Ketiga, pelaku bom bunuh diri adalah wanita setelah aksi bom bunuh diri sebelumnya dilakukan oleh pria dewasa, muda dan remaja, doktrin ISIS, wanita menjadi pelaku bom bunuh diri. Keempat, penggunaan anak-anak dalam aksi bom bunuh diri. Meskipun penggunaan anak-anak dalam jaringan aksi teror g

lobal bukan modus baru, tapi benar-benar baru untuk Indonesia. Anak-anak dimanfaatkan sebagai kedok untuk mengelabui keamanan dan pemeriksaan serta menghindar dari kecurigaan. Kelima, penggunaan bahan peledak TATP, “the mother of satan” ciri khas bom ISIS yang menggantikan jenis peledak TNT dan C-4.

Akankah Generasi Keempat ini, Jaringan Alumni ISIS, mengulangi “kesuksesan” Generasi Kedua Teroris (Al-Qaidah dan Alumni Afghanistan)? Pertanyaan ini lebih banyak menyimpan kekhawatiran, tapi potensi Generasi Bom Surabaya akan menggantikan keberhasilan Generasi Bom Bali I adalah kemungkinan yang bisa saja terjadi, seperti yang telah saya tunjukkan kekhasannya di antara dua generasi itu.

Semuanya berpulang pada kita untuk melawan terorisme khususnya peran Negara dan aparat keamanan. Dengan membaca sejarah, kita akan tahu sejarah bisa berulang kalau kita biarkan, namun sejarah tidak akan berulang kalau kita berhasil melakukan intervensi dan perubahan. Sesuai firman Allah Swt, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah dengan diri mereka sendiri” (QS 13: 11).

Semoga kita termasuk yang mampu melakukan intervensi dan perubahan.

Mohamad Guntur Romli, Caleg Partai Solidaritas Indonesia (PSI); mengamati dan menulis isu-isu terorisme sejak tahun 2002

Sumber

Recommended Posts