Bisakah Politik Menyebabkan Akhir dari Alam Semesta? 

Baik Buruknya Politik dalam Sudut Pandang Pseudo-Sains dan Kosmologi

Oleh: Kurnia Gusti Sawiji

Pengantar:

Esai ini merupakan salah satu karya peserta Lomba Esai “Anak Muda dan Politik” yang diselenggarakan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bekerja sama dengan Qureta pada 2016. 

Dalam cerpen Isaac Asimov yang berjudul The Last Question, akhir alam semesta dinyatakan dengan begitu jelas, pelan, dan lugas; semesta, sama seperti smartphone Anda, pada akhirnya mati karena kehabisan baterai karena entropi total semesta yang sudah mencapai maksimum (analogi ini akan dijelaskan kemudian).

Planet, bintang, dan galaksi mati satu persatu, ruang dan waktu berakhir bersama energi, dan yang tertinggal hanyalah kekacauan yang hampa dan sebuah superkomputer bernama Multivac. Dalam cerpen ini, Multivac hanya ada untuk satu pertanyaan yang ditanyakan umat manusia sebelum mereka punah bersama semesta; bagaimanakah cara mengembalikan entropi seperti sedia kala? Jawaban dari pertanyaan itu belum ditemukan oleh Multivac sehingga akhir alam semesta, dan setelah semua informasi yang ia kumpulkan ia korelasikan, Multivac menyimpulkan sebuah jawaban yang sangat spiritual.

“Jadilah terang!” Lalu terang itu jadi.

Itu adalah sekilas ringkasan dan spoiler dari cerpen Asimov. Kita tidak akan membahas itu. Tetapi, konsep yang diambil Asimov dalam cerpennya merupakan sesuatu yang menarik, yaitu bagaimana semesta mati ketika entropi totalnya mencapai maksimum. Saya pernah membahas tentang entropi dalam sebuah tulisan saya. Secara mudahnya, entropi adalah sebuah unsur atau ukuran “kekacauan” yang ada pada alam semesta. Kekacauan dalam hal ini bermakna dinamika. Pada asasnya, segala proses dalam semesta mulai dari lahir dan matinya sebuah bintang hingga rotasi planet, terjadi karena adanya ketidakteraturan pada termodinamika atom-atom yang berperan di dalam proses itu.

Pusing? Iya, saya juga kok, ketika dosen Fisika Termal saya menjelaskan. Tetapi sekarang sudah tidak lagi sih, makanya akan saya permudah lagi konsep tadi. Kita akan mengambil contoh yang ada di Bumi saja. Udara terdiri dari molekul-molekul udara yang bergerak bebas dan saling berbenturan. Ini adalah dinamika molekuler yang memiliki “kekacauan.”

Lalu, ketika Anda berjalan dan langkah kaki Anda menghasilkan bunyi tap, tap, tap, ada perubahan energi dari kinetik menjadi bunyi, yang mana besarnya tidak sama. Berdasarkan hukum kekekalan energi yang menyatakan energi tidak bisa hilang, maka sisa dari besar pada proses perubahan energi tadi menjadi entropi sebagai ukuran kekacauan yang terjadi sebagai dinamika perubahan energi.

Entropi tidak bisa berkurang. Ia akan terus bertambah sebagaimana alam semesta dan isinya terus melakukan dinamika, tetapi akan ada masanya ketika entropi akan mencapai titik maksimum, dan itu menyatakan bahwa semesta tak lagi sanggup untuk berdinamika. Tadi saya menganalogikan alam semesta seperti sebuah smartphone. Baterai alam semesta adalah dinamika di dalamnya yang mencakup pembentukan bintang dan aktivitas planet-planet.

Bertambahnya entropi bermakna semakin berkurangnya baterai tersebut, sebagaimana semakin banyaknya aktivitas dan aplikasi yang Anda gunakan akan mengurangi baterai smartphone Anda. Baterai smartphone bisa diisi kembali, tetapi alam semesta? Mengisi baterai alam semesta sama halnya seperti membentuk kembali bintang dan planet yang sudah mati dari kekosongan, dan itu tidak mungkin.

Lalu, apa hubungan tiga paragraf eksposisi rumit di atas dengan politik?

Kita tahu bahwa politik adalah sebuah sistem yang  mengatur seluruh aspek kehidupan kita. Makanan yang ada di piring Anda, rumah yang Anda tempati, bahkan kebebasan Anda berkekspresi dan beragama memiliki sangkut-paut dengan politik. Cacatnya sebuah sistem politik bermakna cacatnya kehidupan sekelompok manusia yang tinggal disatukan dengan persamaan nasib dan beberapa aspek sosial lainnya.

Kita bisa melihat contohnya di negara kita sendiri; tatanan dan jajaran politik yang penuh dengan intrik-intrik kotor pada akhirnya membuat rakyat menderita. Atau di negara-negara di Timur Tengah, dimana politik bermakna konflik, dan rakyat bukan lagi menderita tetapi langsung naas ditelan arus peperangan.

Sekarang yang perlu ditanyakan adalah; seberapa berpengaruhnya kehidupan manusia dengan Bumi? Mungkinkah aktivitas manusia berpengaruh dalam hubungan di antara Bumi dan alam semesta secara keseluruhan? Jawaban kasar dari pertanyaan tersebut adalah ya. Kita sudah tahu bagaimana bisnis dan politik yang bermain dalam pengadaan sumber energi dapat menambah jumlah dinamika karbon yang ada di Bumi, dan bagaimana peperangan bisa langsung merusak keadaan Bumi.

Lalu tahukah Anda, bahwa manusia jika mati akan berubah menjadi entropi yang lepas ke alam semesta? Proses pembusukan manusia melibatkan perubahan-perubahan energi termal yang ada dalam tubuh. Bayangkan, dalam sebuah peperangan, berapa banyak manusia yang mati? Atau dalam peristiwa yang memakan jumlah korban banyak seperti Holocaust, pembantaian umat Muslim Rohingya, dan Tragedi 1965? Berapa banyak entropi yang lepas, menambah jumlah entropi total alam semesta?

Tentu, kita sebaiknya tidak melakukan pencarian informasi secara figuratif untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pada asasnya pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menimbulkan pemikiran-pemikiran secara pseudo-sains. Hanya saja, kita setidaknya bisa membayangkan secara kasar bahwa rupanya, aktivitas manusia bisa berpengaruh terhadap alam semesta dalam skala kosmik.

Kita pikirkan begini saja; peperangan yang berterusan, kelaparan dan kematian yang merajalela, dan segala aspek kehidupan manusia yang rusak karena tatanan dan jajaran politik yang buruk tentu dapat merusak Bumi secara langsung. Jika misalnya tiba-tiba Bumi meledak karena tak mampu lagi menahan segala konflik itu, tentu itu akan berpengaruh pada sistem tata surya, yang berpengaruh terhadap sistem-sistem bintang lain.

Dari situ, sebuah reaksi rantai antara satu galaksi dengan galaksi lainnya mungkin saja terjadi. Jangan salah, probabilitas kuantum adalah sesuatu yang menakjubkan; ingat bagaimana fluktuasi kuantum sebuah partikel subatomik, yang probabilitas terjadinya sangat kecil, dapat menimbulkan ledakan super besar yang melahirkan alam semesta?

Lalu jika begitu, maka pertanyaan besarnya adalah; baik atau burukkah politik umat manusia terhadap alam semesta itu sendiri? Secara tujuan asal, kita bisa mengatakan bahwa politik sebenarnya baik karena digunakan untuk mengatur manusia, dan manusia—seperti unsur alam semesta lainnya—cenderung tidak bisa berada pada satu keadaan tetap dan akan berdinamika secara “kacau,” dan dalam konteks ini, kekacauan atau dinamika secara berlebihan—yang kita tahu bisa dilakukan umat manusia dengan atau tanpa politik—dapat mengakhiri alam semesta. Tetapi jika malah karena politik pula umat manusia melakukan kekacauan dan dinamika berlebihan itu, bukan tidak mungkin politik akan memainkan peran dalam kematian semesta secara keseluruhan.

Apakah yang saya katakan ini adalah pseudo-sains tidak nyata yang hanya ada di dalam kepala saya? Oh, ya tentu, semua penjelasan dan prediksi saya di atas hanya ada di dalam kepala saya. Tapi, mengapa pula hal itu menjadikannya tidak nyata?

Kurnia Gusti Sawiji
Mahasiswa

Lomba Esai Politik PSI-Qureta Juara Ketiga

Lomba Esai Politik PSI ini bekerja sama dengan Qureta, diselenggarakan 20 Agustus-05 Oktober 2016. Dewan juri memutuskan tiga orang juara, yakni juara 1, 2, dan 3, serta tujuh juara harapan

Sumber

Recommended Posts