Bebaskan Sumut dari Belenggu Korupsi; Siap, Pak Edy?

Oleh Dara Adinda Kesuma Nasution

Beberapa hari ini publik media sosial ramai dengan perbincangan mengenai Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi. Perbincangan itu dipicu oleh wawancara Pak Gubernur dengan jurnalis Kompas TV, Aiman Witjaksono, untuk membahas tragedi pengeroyokan suporter bola di Bandung.

Pada wawancara itu, Aiman bertanya tentang rangkap jabatan Edy Rahmayadi sebagai Gubernur dan Ketua Umum PSSI. Alih-alih menjawab, Edy Rahmayadi malah balik bertanya: “Apa urusan Anda menanyakan itu?” Bahkan dilanjutkan dengan: “Bukan hak Anda bertanya pada saya.”

Jawaban Edy Rahmayadi ini sontak menjadi perbincangan jagat maya. Di Twitter, misalnya, muncul tanda pagar #SiapPakEdy dan menjadi trending topic nasional. Di platform media sosial lain bahkan bermunculan meme yang merujuk pada wawancara itu.

Ini bukan pertama kalinya Gubernur Sumut viral di internet. Sebelumnya, tersebar luas video yang memperlihatkan mantan jenderal ini mengusir ibu-ibu nelayan yang sedang berdemo di Kantor Gubernur Sumatera Utara, Kota Medan.

Dalam debat Pemilihan Gubernur Sumut, lagi-lagi videonya viral. Ditanya tentang solusi mengatasi stunting, dia menawarkan mobil jenazah. Hal ini cukup mengherankan mengingat Langkat, salah satu kota di Sumut, menderita stunting cukup parah.

Rentetan peristiwa yang melibatkan Gubernur Sumut yang viral akhirnya dijadikan bahan olok-olok di internet. Sebagai warga Sumut, saya prihatin, kok gubernur kita ini menjadi bahan lucu-lucuan antero negeri?

Namun demikian, yang saya perhatikan, kehebohan di dunia maya ini tak terbawa ke dunia nyata. Masyarakat Sumut sepertinya biasa-biasa saja merespons peristiwa demi peristiwa itu. Tidak ada kehebohan berarti pada masyarakat Sumut sendiri menanggapi peristiwa-peristiwa itu. Sebenarnya apa yang terjadi?

 

Harapan Baru Sumatera Utara

Edy Rahmayadi merupakan Gubernur Sumut yang baru terpilih pada pemilihan yang digelar 27 Juni 2018 lalu. Kampanye berlangsung sengit dan sempat diwarnai isu “putra daerah vs pendatang” serta imbauan untuk tidak memilih pemimpin beda agama.

Berpasangan dengan Musa Rajekshah, Edy akhirnya mengalahkan pasangan Djarot Syaiful dan Sihar Sitorus. Setelah proses panjang, pasangan Edy dan Musa terpilih sebagai harapan baru Sumut.

Masyarakat Sumut, termasuk saya, berharap banyak pada pemerintahan yang baru ini. Pasalnya, Sumut sudah bertahun-tahun menjadi provinsi yang salah urus. Salah satu masalah utama adalah kesalahan tata kelola pemerintahan yang menjelma menjadi korupsi di sana-sini.

 

Sumut Darurat Korupsi

Jika ada pencapaian yang luar biasa dari Sumatera Utara, jawabnya adalah pencapaian korupsi.

Menurut data SAHdaR Indonesia per Juli 2018, sekitar Rp1.174 triliun uang rakyat digarong di Sumut selama delapan tahun terakhir. Kasus-kasus itu dilakukan dengan berbagai modus. Terbanyak adalah mark up dengan total 67 kasus, penyalahgunaan anggaran 66 kasus, penggelapan 58 kasus, penyalahgunaan wewenang 21 kasus, dan sisanya tersebar di suap/pungli, laporan fiktif, dan proyek fiktif. Tiga sektor utama yang menjadi ladang korupsi adalah keuangan daerah dengan 56 kasus, kesehatan 38 kasus, dan pendidikan sebanyak 30 kasus.

Korupsi di Sumut terjadi pada berbagai level. Dua gubernur Sumut sebelum Edy, yakni Syamsul Arifin (menjabat 2008-2010) dan Gatot Puji Nugroho (menjabat 2010-2014) ditangkap KPK. Syamsul dijatuhi pidana penjara lantaran terbukti korupsi sebesar Rp57 miliar saat masih menjabat sebagai Bupati Langkat periode 1999-2004 dan 2004-2008.

Sedangkan Gatot dijerat beberapa kasus. Ia didakwa menyuap hakim Pengadilan Tata Usaha Negara di Medan dan dijatuhi hukuman 3 tahun. Ia juga terbukti menyalahgunakan dana hibah dan bansos  tahun 2012 dan 2013 senilai Rp 4 miliar. Yang terbaru, ia dinyatakan bersalah memberikan gratifikasi senilai 61,8 miliar kepada anggota DPRD Sumut periode 2009-2014 dan 2014-2019.

Kasus terakhir Gatot ini akhirnya menyeret 38 orang anggota DPRD Sumut ke dalam bui di awal 2018. Masing-masing orang diduga menerima imbalan Rp300-350 juta untuk melancarkan perubahan APBD Sumut Tahun Anggaran 2013 dan 2014, pengesahan APBD Provinsi Sumut Tahun Anggaran 2014 dan 2015, menyetujui laporan pertanggungjawaban Pemprov Sumut Tahun Anggaran 2012-2014, serta terkait penolakan penggunaan hak interpelasi oleh DPRD Provinsi Sumut pada 2015.

Selain gubernur dan anggota DPRD, penyakit korupsi juga menjangkiti kepala-kepala daerah Sumut. Pada Juli 2018, Pangonal Harahap, Bupati Labuhanbatu, terjerat OTT terkait proyek-proyek di lingkungan Kab. Labuhanbatu Tahun Anggaran 2018 dengan bukti transaksi Rp576 juta dari total permintaan Rp3 miliar.

Lalu ada Rahudman Harahap mantan Wali Kota Medan (2010-2013) yang terbukti menyalahgunakan wewenang dalam penggunaan Dana Tunjangan Pendapatan Aparatur Pemerintahan Desa Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 2005 sebesar Rp1,5 miliar, saat ia menjabat Pj Sekda Tapsel. Mantan Walikota Medan sebelumnya, Abdillah (2000-2005) terjerat dua kasus korupsi, yakni pengadaan mobil pemadam kebakaran tahun 2005 dan penyalahgunaan APBD Pemkot Medan 2002-2006. Wakil Abdillah, Ramli Lubis, juga divonis 4 tahun penjara untuk kasus yang sama.

Di Pematangsiantar, mantan Wali Kota R.E. Siahaan juga terjerat korupsi penyelewengan Dana Rehabilitasi/Pemeliharaan Dinas Pekerjaan Umum pada APBD Kota Pematangsiantar tahun 2007 sebesar Rp 343 miliar. Mantan Bupati Nias Selatan, Fahuwusa Laia divonis 3 tahun penjara pada 2012 karena terbukti melakukan suap terhadap anggota KPUD Kapubaten Nias Selatan ketika berkontestasi untuk kedua kali.

Masih di Nias, mantan Bupati Binahati Benedictus Baeha divonis 5 tahun penjara pada 2011 karena menyelewengkan dana penanggulangan bencana gempa dan tsunami sebesar Rp3,7 miliar. Di 2018, ia kembali divonis 2 tahun penjara dalam korupsi penyertaan modal Pemkab Nias kepada PT Riau Airlines.

Bergerak ke Kabupaten Batubara. Di tahun 2017, mantan Bupati Batubara OK Arya Zulkarnain terbukti menerima suap proyek Dinas PUPR Batubara. Nilai korupsi yang didakwakan mencapai Rp8 miliar lebih. Kemudian, di tahun 2014, Bupati Mandailing Natal (Madina) Muhammad Hidayat Batubara dijatuhi hukuman 5 tahun 6 bulan penjara karena terbukti menerima suap dari pengusaha.

Seperti tak mau kalah, para Pegawai Negeri Sipil (PNS) Provinsi Sumut juga ramai-ramai melakukan korupsi. Data Badan Kepegawaian Negara (BKN) per September 2018 menyebutkan Provinsi Sumut menjadi “juara” dengan PNS koruptor terbanyak, yakni 298 orang. Sebanyak 33 orang merupakan PNS di Pemprov Sumut dan sisanya 265 orang merupakan PNS Pemkab/Pemkot.

 

Jangan Lagi Diam

Persoalan korupsi di Sumut sudah begitu akut. Sampai-sampai kata “Sumut” sering diplesetkan sebagai singkatan dari Semua Urusan Uang Tunai. Maksudnya, Anda harus siap-siap merogoh kocek jika berurusan dengan birokrasi daerah ini. Saking mengakarnya, korupsi sudah menjadi budaya di Sumut. Selayaknya budaya, ia jadi bagian dari kehidupan masyarakat yang tidak dipertanyakan lagi (taken for granted).

Masyarakat sepertinya sudah kehilangan harapan. Ini terlihat ketika saya mendatangi masyarakat untuk berkampanye, mereka langsung menanyakan Nomor Piro Wani Piro (NPWP). Berapa yang mampu saya bayar sebagai caleg, agar mereka memilih saya?

Masyarakat sepertinya sudah muak dengan wakil-wakil yang mereka pilih namun akhirnya mengecewakan. Dampaknya, mereka tak lagi berpikir untuk jangka panjang karena tahu ujung-ujungnya bakal digarong. Mereka lebih memilih sesuatu yang instan; uang Rp100 ribu untuk hitungan satu suara.

Persoalan korupsi yang mengakar kuat ini tentu harus dicarikan jalan keluarnya. Ini bukan persoalan yang mudah karena pihak legislatif, eksekutif, dan yudikatif Sumut berkelit-kelindan dalam jerat korupsi. Kita berharap banyak pada pemerintahan Gubernur Edy Rahmayadi. Ini adalah pekerjaan besar yang tidak bisa disambi. Pun, tak mungkin diselesaikan oleh gubernur seorang diri.

Maka dari itu, perlu adanya keterlibatan dari berbagai pihak. Selama bertahun-tahun, kemuakan masyarakat berujung pada pembiaran secara kolektif. Warga acuh tak acuh pada pemerintah daerahnya. Kritisisme warga harus muncul. Meski jengah, masyarakat harus mau bersuara jika ada yang kurang beres, serta berhenti memilih calon-calon yang berpotensi korup.

Media lokal harus terus bekerja mengungkap kasus-kasus korupsi. Semua harus ambil bagian dan terlibat. Politikus, jurnalis, mahasiswa, dosen, pemuda, dan siapa saja tidak boleh diam. Sumatera Utara adalah milik semua orang yang tinggal di dalamnya. Pemerintahan yang efektif dan efisien akan menguntungan semua. Sebaliknya, pemerintahan buruk dan korup akan merugikan semua.

Olok-olok di media sosial atas pernyataan Gubernur Sumatera Utara perlu direspons dengan kerja-kerja nyata membangun daerah. Korupsi harus dilawan sekarang juga. Siap, Pak Edy?

 

Dara Adinda Kesuma Nasution adalah caleg DPR RI dari PSI untuk Dapil Sumatera Utara III (Pematangsiantar, Simalungun, Langkat, Binjai, Pakpak Bharat, Dairi, Karo, Tanjung Balai, Asahan, Batubara)

*Esai ini terbit pertama kali di Qureta.com

Recommended Posts