Bagaimana Grace Natalie Melihat Aspirasi Millennials?

Pemilu di AS tahun 2016, mencatat melonjaknya angka partisipasi pemilu di kategori millennials, di rentang usia 18 – 35 tahun. Tahun 2008 ada 18,4 juta pemilih usia millennials, naik menjadi 34 juta pada Pemilu 2016. Data dari Pew Research Center menunjukkan bahwa jumlah pemilih di kalangan gen-X, usia 36-51 tahun, untuk pertama kalinya dalam sejarah melampaui pemilih generasi baby boomers, generasi sebelumnya. Millennials termasuk di dalamnya.

Apakah generasi millennials peduli terhadap politik?

“Orang muda masih peduli tentang negaranya,” kata Direktur Harvard Institute of Politics Polling, John Della Volpe, usai pemilu AS tahun lalu. Della Volpe, alumni Eisenhower Fellowship juga melihat generasi millennials lebih suka (partisipasi) dalam kegiatan kerelawanan ketimbang ikut memilih (dalam pemilu) 2014.

Generasi ini juga menghendaki tranparansi dalam semua hal, baik kepada pemerintah maupun swasta. Mereka peduli, ke mana dana (anggaran) mengalir, dan untuk apa. Jadi, ini salah satu bentuk kepedulian mereka terhadap negara.

Di Indonesia, jumlah pemilih kelompok pemula, yang notabene masuk kategori generasi millennials, terus bertambah dari pemilu ke pemilu. Berdasarkan catatan Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah pemilih pemula pada Pemilu 2014 mencapai 11% dari total 186 juta jiwa pemilih.

Jumlah ini meningkat dibandingkan dua pemilu sebelumnya. Pada tahun 2004, jumlah pemilih pemula sekitar 27 juta dari 147 juta pemilih (18,4 %). Pemilu 2009, ada sekitar 36 juta pemilih dari 171 juta pemilih (21%).

Grace Natalie, pendiri dan ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) berhubungan banyak dengan generasi muda termasuk millennials, dalam kegiatan parpol yang dia bentuk pasca Pemilu 2014. PSI menerapkan aturan pengurus parpol tak boleh berusia lebih dari 45 tahun saat menjabat. “Kurang dari 1 hari boleh, saat menjabat,” ujar Grace, ketika saya wawancarai, Selasa, 15 Agustus 2017 di sebuah restoran di Jakarta.

Menurut mantan wartawan dan presenter televisi ini, PSI kini memiliki 600 ribuan anggota di semua provinsi di Indonesia. Pilkada serentak 2018 akan menjadi ajang laga pertama calon-calon eksekutif dari PSI. Grace, yang kini berusia 35 tahun, mengaku sedang mempertimbangkan untuk maju dalam pemilu legislatif tahun 2019. “Kami tengah konsolidasi dan berhitung,” ujar ibu dua putra ini.

Bagaimana Grace Natalie melihat politik di Indonesia dan partisipasi millennials? Berikut petikan perbincangan kami:

Berdasarkan pengalaman interaksi di partai dan di luar partai, bagaimana persepsi millennials terhadap politik?

Surprisingly, mereka enggak terlalu negatif dalam memandang politik. Mungkin mereka belum punya akar-akar kepahitan seperti generasi diatasnya yang sudah terlanjur terlalu banyak melihat banyak tokoh-tokoh parpol, misalnya, terkait kasus korupsi dan sebagainya.

Jadi berdasarkan pengalaman kami sendiri di PSI, kalau kami melempar materi pendidikan politik atau kampanye di media sosial, respons yang paling bagus justru datang dari para millennials, yang usianya 15-25 tahun. Kalau usia 30 tahun ke atas, respons langsung anjlok. Mereka (millennials) mau tahu, mau mendengar mau nonton sampai habis, baru kemudian mereka berikan judgment. Cukup responsif.

Masuk politik karena melihat potensi millennials ini?

Hahaha, millennials dan beyond dong, Mbak. Kami mendirikan PSI, karena melihat juga potensi secara demografis. Pada tahun 2019, pemilih muda sampai 45 tahun mencapai sekitar 50%. Pangsa pasar luas sekali.

Mengapa saya dan teman-teman mendirikan PSI? Saya termasuk orang yang tadinya punya persepsi buruk terhadap politik. Pekerjaan saya sebagai wartawan membuat saya sering ketemu politisi karena melihat contoh-contoh seperti itu.

Tapi kemudian ada sejumlah pemimpin baru dengan reputasi baik, seperti Pak Jokowi, Pak Ahok, Ibu Risma, Pak Ridwan Kamil, Prof Nurdin Abdullah, mereka dasarnya bukan politisi, tapi profesional di bidang masing-masing, tapi kemudian ketika mereka jadi politisi dan punya kekuasaan di tangan mereka, mereka benar-benar membuat perubahan.

Buat saya dan buat teman-teman pendiri dan saya yakin buat anak-anak muda lainnya di Indonesia, wah ternyata memang politik hanya alat. Dari situ kita memberanikan diri membuat partai, karena kita ingin menyiapkan kendaraan yang dikelola secara profesional, akuntabel, transparan agar kemudian semakin banyak orang mempertimbangkan untuk terjun ke politik, karena politik itu penting banget mengatur semua aspek kehidupan kita..

Jadi kami siapkan kendaraannya agar orang-orang yang bagus-bagus ini, mungkin mereka dokter, mungkin insinyur, mungkin apapun pekerjaannya mempertimbangkan untuk masuk ke politik dan membuat regulasi yang baik sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

Kalau mau masuk ke eksekutif ya menggunakan anggaran dengan baik, bikin program yang benar-benar punya dampak ke masyarakat. Jadi, anak muda atau millennials yang menjadi operatornya (di PSI) karena tentu mereka fasih menggunakan teknologi. Teknologi membuat segala sesuatu menjadi lebih efektif dan lebih efisien. Kami kan enggak punya kemewahan punya televisi, punya radio, koran, yang setiap hari bisa memutarkan lagunya PSI, hehehe.

Ya, memang kami meng-grab millennials menjadi operator, karena para netizen, kalau sudah dengan senang dengan sesuatu yang bagus mereka bisa mempunyai kerelaan untuk membagi itu kepada komunitas dan teman-teman lain. Berbeda dengan (komunikasi) di televisi kita kita enggak tahu apakah mereka suka atau enggak, apakah mereka punya respons positif atau negatif, apakah mereka meneruskan ke yang lain, kita enggak tahu.

Apa aspirasi millennials terhadap politik? Terhadap pemerintah?

Ya tentu, mereka tahu bahwa politik itu harus disi oleh orang-orang baik. Ini menjadi misi kita juga untuk mendekatkan politik dengan para millennials Berdasarkan salah satu survei, buat anak-anak muda, para millennials politik itu ibaratnya jauh di luar planet bumi.

Mereka di bumi, politik di luar planet bumi. Tapi mereka punya harapan, bahwa pemerintah harus anti korupsi, harus jujur, harus baik, dan mereka apreasiasi dengan adanya pembaruan yang dilakukan para pemimpin yang saya sebutkan itu, misalnya rapat-rapat di- streaming, kemudian gaya-gaya komunikasi yang enggak terlalu birokratis, enggak kaku.

Bisa menyapa mereka melalui media sosial, mereka suka yang tidak berjarak, di mana aspirasi bisa disampaikan secara langsung, dan semuanya yang harus serba cepat. Kalau zaman dulu kita berkirim surat ke pejabat, belum tentu dijawab. Sekarang mereka maunya cepat, media sosial sangat penting. Sekarang beberapa jam pesan tidak dijawab buat mereka sudah tergolong lama.

Apa yang paling dibutuhkan para millennials?

Karena usianya sekarang sekitar 27 tahunan, kalau mereka lahir tahun 90a-n, ini adalah umur di mana mereka lulus kuliah, cari kerja, kalau kita tanya ke anak muda, beberapa kali kita buat FGD, kalau kita tanya mereka memang concern-nya ke isu pendidikan dan isu pekerjaan.

Jadi, dengan kondisi ekonomi yang sekarang di mana-mana kurang baik, ekonomi melambat, isu pekerjaan sangat penting buat mereka. Mereka tidak mau terlalu rumit memahami apa yang terjadi dengan ekonomi global dan efeknya ke ekonomi Indonesia. Tahunya kalau susah mencari pekerjaan, berarti ekonomi tidak baik, dan pemerintah nilainya tidak baik di mata mereka.

Menurut kamu, millennials lebih banyak masih ingin jadi pegawai atau wirausaha?

Keinginan merintis usaha meningkat banget, terutama karena para millennials, kalaupun mereka jadi pegawai atau karyawan, kan dikenal sangat singkat masa kerjanya. Paling cuma 1 -2 tahun lalu pindah. Kalau ditanya, mereka lebih ingin pekerjaan yang leluasa waktunya tapi duitnya banyak, kalau bisa ditambah dengan ngetop juga, (tertawa).

Itu juga yang kami alami di PSI yang pengurusnya 70% usianya dibawah 33 tahun, jadi millennials banget, harus menjaga spiritnya. Mereka lahir di era yang semua serba gampang, cari info semua serba cepat, ketemu mentok sedikit yang susah, mereka lebih gampang menyerah.

Jadi harus terus di maintain semangatnya, ya dibangun ya, kenapa kita berjuang harus terus-menerus, agar mereka bisa semagat terus melewati semua rintangan. Apalagi ketika kami baru keluar, dari nol, diremehkan dan urusan dengan birokrasi ribetnya luar biasa.

Salah satu yang saya alami dengan millennials mereka semangat tinggi, idealis, kreatif, tapi kadang gampang untuk patah, maka harus terus terus dibimbing di-mentoring agar terus on the track.

Siapa yang menurut kamu jadi sosok idola bagi millennials? Apakah sosok pahlawan kemerdekaan masih jadi panutan?

Waduh, kayaknya jawaban saya takutnya tidak mewakili. Tapi kalau sama yang kita bergaul sering, misalnya Tsamara (Amany, pengurus PSI, red), dia itu idolanya Bung Karno, tapi kata dia kayaknya teman-teman melihat dia aneh (tertawa).

Jangan-jangan heroes-heroes itu, pahlawan yang kita pelajari di buku-buku sejarah saat masih di sekolah, yang dulu kita idolakan, akan cepat luntur (pengaruh) kalau mereka merasa enggak relevan dengan saat ini.

Itu kan perjuang masa kemerdekaan, jangankan itu, pejuang masa reformasi ada yang relevansinya sudah enggak ada. Kalau kita tidak mencari cara untuk membuat perjuangan mereka itu relevan dengan kondisi kita sekarang, meskipun kita sekarang berada di zaman yang jauh berbeda dengan masa saat merebut kemerdekaan, maka mungkin kecintaan kepada pahlawan-pahlawan itu akan semakin luntur

Bagaimana dengan gencarnya pemerintah mengkampanyekan nilai-nilai Pancasila?

Denger-denger dari teman-teman kan pelajaran Pancasila enggak seperti era kita dulu? Tapi kalau boleh jujur, kalaupun zaman kita dulu cuma menghafal Pancasila, sebenarnya juga enggak efektif ya kalau kemudian enggak kita temukan contoh kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari.

Kalau kemudian sekarang pemerintah mulai menggalakkan lagi ya bagus banget, karena sekarang ancaman kepada Pancasilaa semakin nyata. Bahkan lebih nyata lagi ketimbang saat kita dulu belajar P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dengan kurikulum kita.

Sekarang kan ada ancaman ISIS, ada kelompok kelompok yang memang mau mengganti dasar negara kita, lalu kemudian dalam negara kita sendiri dalam momen-momen di pilkada, ada ancaman-ancamanberupa sikap-sikap intoleransi, misalnya.

Jadi sebenarnya sedih sih, Mbak. Artinya kita sudah 72 tahun merdeka, kita harusnya punya demokrasi yang lebih baik dengan bisa memimpin langsung pemimpin kita di daerah, tapi isunya kalau kita lihat event-event pilkada satu ke yang lain, enggak jauh-jauh isu SARA, selalu dipakai, isu putra daerah, kalau sama-sama putra daerah, sama agamanya, sukunya sama, yang dimainkan black campaign, kampanye hitam.

Jadi makin relevan ternyata saat ini bagaimana kita bisa memahami arti Pancasila, karena memang Indonesia kayak begini, sehari-hari di sekitar kita semuanya berbeda. Bagaimana kita bisa menerima itu, supaya enggak gampang kena hasutan oleh orang-orang yang sebenarnya punya agenda yang kita enggak tahu. Kita cuma jadi korban saja.

Komunikasi politik yang dijalankan pemerintah, termasuk dalam menggencarkan cinta Pancasila ini apakah sudah pas?

Nah, belum sih kalau boleh jujur. Jadi para millennials ini kan punya kelemahan, mereka lebih suka dengan visual, video. Mereka sudah semakin malas membaca, contoh paling real, isu utang luar negeri.

Ada penjelasan dari kementerian keuangan, semacam infografik yang lumayan panjang, Mbak Uni mungkin sudah lihat juga. Isinya garis-garis, kotak dan panah, kita melihatnya sudah pusing duluan. Padat banget dengan kalimat kecil-kecil ukurannya, pusing lihatnya.

Kita (PSI) coba membuat video 1 menit di situ dijelaskan mengapa Pak Jokowi di era saat ini porsi utang luar negerinya bertambah, untuk apa? Menjelaskan yang sebenarnya intinya sama dengan yang dibuat Kemenkeu, tapi kita rangkum dalam video 1 menit, kita buat grafis sederhana dengan narasi-narasi sederhana tapi orang dapat poinnya, bisa memahami kenapa Pak Jokowi mengambil keputusan seperti itu.

Di semua kementerian rasanya kita belum melihat materi-materi seperti itu banyak diproduksi untuk mengedukasi publik, yang penting pesannya sampai. Kami pun sebenarnya belajar Mbak, jadi ketika kami mulai dua tahun lalu, coba kasi edukasi politik enggak gampang, karena politik, berat banget.

Nah bagaimana cara sampaikan dalam bahasa sederhana menarik, karena kalau mereka sudah enggak mau nonton materi yang kita sampaikan, kita enggak bisa apa-apa. Jadi, itu yang jadi PR (pekerjaan rumah) banyak kementerian, mereka belum melakukannya. Semua masih dalam bentuk penjelasan yang masih kayak zaman dulu, ya sudah capai-capai bikin kan sayang kalau enggak dibaca.

Ada enggak perbedaan millennials di Jakarta dengan di daerah?

Kalau di daerah itu, kan mungkin terkait dengan sarana dan prasarana, mereka yang di Jakarta dan kota besar, lebih fasih dengan aplikasi, mikirnya sudah serba harus lebih cepat dan sederhana. Mereka lebih fasih gunakan aplikasi atau memikirkan hal-hal yang bisa support hidup mereka jadi lebih mudah. Kalau di daerah menuju ke sana sih, cuma, belum seperti di Jakarta.

Bahkan yang bikin kaget juga di kalangan pengurus yang semua anak muda, ternyata ada juga diantara mereka kesulitan buka email. Kita sampai buat modul, modul menggunakan medsos dasar. Surprising. Tenyata meskipun sama-sama anak muda, keterampilan mereka gunakan medsos itu enggak seragam.

Kami pun butuh waktu dari awal hingga saat ini, terus berusaha upgrade kemampuan teman-teman agar semakin fasih gunakan medsos. Belum merata sama sekali, terutama untuk di luar Jakarta. Ini yang saya bilang terkait email masih di Sumatera dan di ibukotanya. Masih ada yang kayak gitu, tapi mereka menuju ke sana, at least mereka lebih cepat nangkep-nya dibanding generasi sebelumnya yang berbeda banget era teknologinya.

Apa yang ditawarkan PSI yang berbeda dibanding parpol lain?

Jadi kita terapkan tiga golden rules, yang bedakan PSI dengan politik gaya lama. Pertama, pengurus yang direkrut semua orang-orang baru, usia maksimal 45 tahun, kurang 1 hari masih boleh saat diangkat menjadi pemgurus. Enggak boleh pernah jadi pemgurus harian di parpol manapun, sehingga bebas kontaminasi (pengaruh) parpol yang tidak baik karena memang belum punya pengalaman.

Kedua prinsip meritrokrasi, di mana semua orang diukur berdasarkan kinerjanya, kita menolak politik identitas, apapun suku agama dan ras nya kalau memang mau kontribusi silakan, PSI dengan senang hati menjadi rumah bagi semuanya. Ketiga politik partisipatif, karena kita selalu bilang bahwa politik itu mahal. Kalau kita tanggung bersama-sama cost politik jadi murah. Misalnya kantor itu harus menurut syarat verifikasi

KemenhukHAM dan nantinya syarat KPU rumah teman-teman pengurus di daerah jadi kantor PSI. Mereka kontribusi gratis, enggak ada biaya. Posisi-posisi ketua di level provinsi dan kabupaten kota, kita open ke publik, mereka bisa daftar, tentu akan kita verifikasi untuk menyamakan visi misi, ada perjanjian, ada hak dan kewajiban politik yang nereka harus penuhi. Lalu ada semacam masa percobaan, kita lihat komitmennya, kalau sampai dia offside enggak committed, enggak sesuai dengan nilai-nilai perjuangan kami ya bisa kita cut. Mirip-mirip dengan orang kerja di perusahaan, kan kalau orang kinerjanya buruk enggak mungkin kita pertahankan terus –menerus. Merugikan seluruh organisasi. Seperti itu yang kita praktikkan di PSI.

Pesan dari generasi millenials untuk 72 tahun Kemerdekaan Indonesia?

Teman-teman, kita sudah 72 tahun Merdeka, usia yang lebih tua dari rata-rata umur kita semua, tapi masalah intoleransi masih jadi problem. Sekarang tambah banyak aksi-aksi atau kelompok-kelompok masyarakat yang gunakan isu-isu intoleransi, memasalahkan perbedaan diantara kita, ikut memecah-belah perbedaan diantara kita.

Ini sedih banget karena kalau ditelusuri lebih jauh kepentingannya enggak jauh-jauh dari kepentingan politik saja. Jadi teman-teman jangan mau, ini perjuangan kita saat ini yaitu perjuangan melawan intoleransi. Jangan mau dipecah-belah, jangan mau dibohongi, jangan mau dibodohi oleh mereka yang punya agenda masing-masing, dengan gunakan isu-isu perbedaan diantara kita. Kita ini dari dulu satu, kalau enggak ada kamu, enggak ada aku, dari dulu kita enggak jadi Indonesia.

Sumber: @unilubis –Rappler.com

 

Recommended Posts