Ajax dan Hector: Kebencian dan Persahabatan

Kisah Perang Troya

Oleh: Tsamara Amany

Perang Troya semakin mematikan. Mayat bertebaran di mana-mana.

Dewi Athena ketakutan melihat banyak pejuang Akhaia berguguran dalam peperangan kali ini. Ia cepat-cepat turun dari Olimpus, namun Dewa Apollo yang berada di sisi Troya datang menghadangnya. Apollo khawatir Athena ingin menggunakan kekuatannya untuk mengalahkan pasukan Troya.

Ketika kedua dewa itu bertemu, mereka sepakat agar perang ini tak memakan lebih banyak korban. Lebih baik mereka membujuk Hector, pangeran Troya, untuk menantang pejuang terhebat Akhaia dan melakukan duel.

Tanpa ragu-ragu, Hector berteriak dengan lantang menantang para pejuang-pejuang terbaik Akhaia yang mau berduel dengan dirinya. Pasukan Akhaia dan pemimpinnya terdiam. Mereka takut melawan Hector yang begitu kuat dalam medan perang. Secara bersamaan mereka malu untuk mengakui ketakutan itu.

Karena tak kuasa menahan rasa malu melihat situasi yang ada, Menelaus, adik Raja Agamemnon, menawarkan diri untuk melawan Hector. Agamemnon dengan segera melarang kegilaan adiknya itu.

“Jangan hanya demi persaingan dan rasa sombongmu kamu kemudian buru-buru bertarung dengan Hector. Ia lebih baik darimu. Banyak petarung ciut di hadapannya. Bahkan Akhilles, petarung yang lebih hebat dari dirimu itu, tak berani mengadu dirinya dengan Hector,” ujar sang Raja tertinggi Akhaia. 

Menelaus mengikuti saran Agamemnon. Tapi situasi memalukan ini harus segera diakhiri. Nestor, raja Pylos, lelaki tua yang sangat dihormati di kalangan Akhaia, marah kepada pasukannya.

“Andai saja aku masih muda, Hector akan bertemu lawannya yang sepadan! Kalian, pejuang-pejuang Akhaia yang katanya paling berani, tapi tak satu pun dari kalian memiliki nyali untuk melawan Hector!” kata Nestor kepada pejuang-pejuang Akhaia tersebut.

Tentu saja apa yang diucapkan Nestor sangat mengusik harga diri pejuang-pejuang itu. Apalagi dalam budaya Yunani kuno, konsep kehormatan dan heroisme begitu penting.

Sembilan pejuang akhirnya memberanikan diri. Mereka adalah Agamemnon, Diomedes, Idomeneus, Meriones, Eurypylus, Thoas, Odysseus, Ajax besar (Great Ajax), dan Ajax kecil (Little Ajax). Untuk menentukan siapa pejuang yang akan melawan Hector, kesembilannya pun diundi. Ajax besar mendapat undian tersebut. Ia bersiap melawan pejuang Troya paling tangguh, Hector. 

Ajax dengan gagah berani maju ke dalam arena peperangan, menjawab tantangan Hector, dan siap bertarung secara head to head melawannya. Melihat itu, Hector yang awalnya lantang menyuarakan tantangan ini gelisah melihat Ajax yang maju mendekat ke arahnya.

“Kini kamu akan belajar, Hector, bagaimana kehebatan pejuang-pejuang pasukan Akhaia!” ujar Ajax dengan nada mengancam.

Hector menjawab ancaman meremehkan itu dengan tegas. Ia meminta Ajax untuk tidak mempermainkannya karena ia tahu betul bagaimana caranya berperang.

Pertarungan sengit itu pun terjadi. Hector hampir saja kalah dalam pertarungan itu ketika Ajax melempar batu besar yang menghancurkan perisainya, namun Apollo datang menyelamatkannya. Ketika pertarungan mulai memasuki babak selanjutnya, Dewa Zeus mengirimkan Thaltybius dan Idaeus untuk menghentikan pertarungan mematikan itu. Dewa Zeus menyanyangi kedua pejuang hebat tersebut.

Karena Hector yang memulai, Ajax hanya ingin berhenti jika Hector yang mengakhiri. Hector mengikuti keinginan Dewa Zeus dan mengakhirinya dengan memuji Ajax sebagai seorang pejuang tangguh yang Akhaia miliki.

Yang mengagumkan dari cerita ini, Hector dan Ajax bertukar hadiah saat mengakhiri pertarungan tersebut. “Agar pejuang Akhaia dan Troya suatu saat akan berkata, ‘Awalnya mereka bertengkar dengan hati penuh kebencian, lalu mereka berpisah dengan ikatan persahabatan’,” ujar Hector kepada Ajax. 

Kisah perang Troya dalam buku ketujuh The Iliad yang diceritakan Homerus begitu inspiratif. Bayangkan saja, Akhaia dan Troya sudah berperang selama sembilan tahun untuk mempertahankan kehormatan masing-masing. Sudah banyak korban dari kedua kubu.

Di tengah peperangan yang seolah tak ada akhir, Hector, kakak Paris si biang keladi perang Troya, menantang pejuang-pejuang Akhaia. Berusaha keluar dari rasa malu, Ajax mewakili Akhaia untuk melawan Hector yang hampir saja kalah dalam duel itu!

Marah, lelah, malu. Entah apa ada kata yang tepat untuk mendeskripsikan perasaan keduanya. Tapi mereka masih mampu untuk saling menghargai dan memberikan teladan kepada generasi penerus Akhaia dan Troya. Mereka tak ingin meninggalkan dendam. Kebencian mampu berubah menjadi persahabatan. 

Coba bedakan dengan apa yang terjadi pada kita hari ini. Pilihan politik merusak hubungan persahabatan dan bahkan hubungan kekeluargaan. Sungguh menyedihkan bagaimana sesuatu yang sejak awal dilandasi cinta dan kasih sayang mampu berubah menjadi kebencian hanya karena perbedaan pilihan politik menjelang Pemilu. 

Polarisasi menjadi semakin tajam seiring waktu. Elite politikalih-alih mendinginkan suasanajustru ikut memperuncing keadaan. Pernyataan yang mengkotak-kotakkan terus diucapkan. Masyarakat sengaja dibelah menjadi dua kubu ekstrem: nasionalis vs religius. Dua kubu yang tak perlu dipertentangkan sama sekali.

Seorang tokoh bangsa yang dihormati turun gunungbukan untuk menginisiasi rekonsiliasi politiktapi terlibat dalam proses polarisasi politik. Masyarakat kehilangan suri teladan. Kita tak memiliki kebesaran jiwa Ajax dan Hector di negeri ini.

Indonesia tak sedang berperang. Kita hanya akan memasuki tahun kontestasi politik untuk mencari pemimpin politik yang paling cocok memimpin negeri ini lima tahun ke depan.

Jika Hector dan Ajax bisa mengakhiri pertarungan berdarah dengan bersahabat, mengapa kita tak bisa tetap bersahabat dan saling menghargai perbedaan pilihan politik? Apakah perbedaan pilihan politik lebih kejam dibanding perang berdarah selama sembilan tahun?

Sumber

Recommended Posts